Sebuah Jeritan Hati
Saya adalah seorang perempuan lulusan sarjana. Sekarang, saya menjadi seorang ibu rumah
tangga, dan menyandang gelar tersebut tidaklah mudah diterima.
Rasa hati ingin sekali kembali ke dunia kerja dimana saya
bisa mengenal dan melihat dunia luar, merasakan betapa senangnya berkumpul dan
bercengkrama bersama teman-teman, dan lain sebagainya. Saya terkadang iri
melihat teman-teman saya yang lain yang sudah berkeluarga bisa tetap eksis
diluar, bisa bergaul dengan siapa saja, melanjutkan studi, berbelanja ini itu, membeli baju, tas,
sepatu, dan lain sebagainya. Mereka juga bisa menyempatkan ke salon untuk spa
dan perawatan lain. Sedangkan, saya sendiri hanya bisa dirumah mengurus anak,
bebenah, masak.
Sebenarnya, banyak sekali kesempatan untuk saya mengajar diluar sana. Terlebih, di
kota pelajar ini dengan
berbagai fasilitasnya membuat saya mudah untuk memasuki dunia kerja mengingat
umur saya yang masih produktif dan kualitas diri saya yang cukup. Tapi...
Apakah saya harus mengorbankan harta berharga saya demi menggapai keinginan
saya? Apakah saya harus menitipkan berlian saya kepada orang lain yang tak
pernah saya kenal sebelumnya?
Anak saya adalah berlian termahal yang telah Allah berikan
kepada saya. Maka dari itu, sulit sekali bagi saya melepas berlian dan membiarkannya
tumbuh berkembang bersama orang lain ketimbang dengan saya. Saya tak pernah
tega dan rela membiarkannya diasuh orang lain yang tak pernah saya tahu asal
usulnya.
Saya sering membayangkan jika suatu saat saya harus
menitipkannya ke suatu tempat, saya mungkin akan menyesal dan menangis setiap
setelah saya menitipkannya. Saya selalu terbayang jika buah hati saya harus
saya titipkan, bagaimana dengan makannya, perhatian untuknya, dan lain
sebagainya. Apakah orang lain akan mengasuhnya seperti saya mengasuh si kecil?
Apakah anak saya akan selalu dimandikan sambil bercanda dan bermain sabun
beserta bebek karet yang berenang-renang menemaninya? Apakah ia akan selalu
disuapi sambil bercerita, bernyanyi, mengaji, dan lainnya? Apakah dia akan
ditidurkan dengan pelukan sayang yang menemaninya? Apakah dia akan selalu
dibacakan buku cerita dengan bahasa inggris sembari mengajaknya bercengkrama
menirukan suara-suara hewan? Ah... Sepertinya tidak begitu.
Si kecil yang mulai tumbuh berkembang dan sudah mengenal
saya tak mau lagi digendong dan ditemani orang asing tanpa ada saya
disebelahnya. Ketika saya habis berbelanja sebentar di warung tanpa membawanya,
ia terlihat tak mau ditinggal oleh saya. Sebenarnya, dia suka jika banyak orang
bercanda dan menemaninya, asalkan disampingnya ada saya.
Maka dari itu, jika membayangkan saya harus bekerja diluar
dan menitipkannya, saya tak akan pernah tahu seberapa lama dia akan menangis
mencari saya, mencari seseorang yang selama ini selalu ada disampingnya saat
mandi, makan, bermain, dan tidur. Membayangkan saja air mata ini sudah menetes,
apalagi hal itu menjadi sebuah kenyataan. Saya pasti akan menyesal dan menangis
setiap hari, setiap setelah
mengantarkan dan sebelum menjemputnya di tempat penitipan.
Mungkin akan ada sisi positifnya jika saya menitipkannya,
salah satunya sosialisasi dan adaptasi. Tapi, apakah dengan itu saya rela
meninggalkannya? Ah saya kira tidak. Saya tidak tega meninggalkannya dan
membiarkannya diasuh dan dididik orang lain yang saya tak pernah tahu latar
belakang pendidikannya sedangkan saya sendiri harus mendidik anak orang lain.
Padahal seorang ibu merupakan madrasah pertama bagi anak-anaknya.
Coba bayangkan, saya yang lulusan sarjana malah mengajar dan
mendidik diluar, tapi anak saya malah saya biarkan bersama orang lain yang
riwayat pendidikannya saja saya tak pernah tahu. Maaf, bukan maksud untuk
menyalahkan dan mendoktrin para ibu-ibu yang mengajar diluar. Tapi, itu semua
hanya jeritan hati saya ketika saya juga ingin tetap eksis diluar tapi berat di
berlian termahal, itu semua juga jeritan hati saya ketika saya sudah kehilangan
banyak teman dan komunitas saya.
Hati
perempuan mana yang tak senang pergi keluar, berbelanja, ke salon, makan diluar
bersama teman, bercengkrama bersama rekan, dan bisa bertamasya ria bersama
kawan? Bisa membeli dan mengoleksi baju, jilbab, sepatu, dan segala macamnya
dengan uang sendiri rasanya menyenangkan sekali. Ah sudahlah... Saya mencoba
mensyukurinya dengan adanya harta berharga yang saya miliki saat ini. Saya yakin
akan ada jalan dimana saya bisa mengajar dan menularkan ilmu saya dari rumah.
Akan ada waktu dimana saya bisa menjemput rejeki tambahan dari rumah. Akan ada
waktu pula untuk saya bisa berkumpul bersama teman-teman saya. Dan, akan ada waktu untuk saya dimana saya bisa melanjutkan studi saya.
Comments
Post a Comment