Kekuatan Bismillah
Pernahkah
dengan membaca basmallah kalian dapat menaklukan bukit bahkan gunung? Ada cerita
luar biasa dibalik kata sederhana tetapi sangat luar biasa tersebut. Dengan basmallah,
satu bungkus kecil kacang gula jawa yang berbentuk kotak berukuran tiga kali
lipat dari dadu ular tangga kecil dapat memberikan tenaga kepada kita dalam
menaklukan sebuah gunung tinggi. Tidak percaya? Silahkan dicoba...
Suatu ketika,
pada tahun 2005 tepatnya bulan Agustus, ada sebuah acara pendakian gunung yang
diadakan oleh mahasiswa pecinta alam dan GPSG (Gerakan Penghijauan dan Sapu
Gunung). Acara tersebut umum diikuti oleh siapapun, termasuk pecinta alam dari
sebuah sekolah menengah atas. Untuk sebagian orang yang suka petualangan, acara
tersebut memang menggiurkan dan menantang. Tak heran jika ada seorang siswi
sekolah menengah atas yang suka tantangan juga merasa tertantang dengan adanya
acara tersebut. Segera ia mendaftarkan diri untuk bergabung dalam kelompok pecinta
alam tingkat sekolah menengah atas.
Beberapa hari
sebelum acara diadakan, Nadia, siswi sekolah tingkat atas tersebut yang suka tantangan
mendapatkan beberapa syarat-syarat dan peraturan mengikuti acara tersebut. Segera
dia menyiapkan semua keperluan untuk perbekalan selama pendakian. Ketika mendekati
hari H, tak sabar dia dan teman-teman yang lain menanti kegiatan tersebut. Semua
siap dengan perlengkapan pribadi masing-masing termasuk ransum makanan, air
minum dan senter yang paling penting. Tak lupa mereka juga menyiapkan satu
lembar koyok untuk ditempel dihidung agar tidak tersumbat nantinya pada saat
pendakian. Semuapun beres, kecuali tenda. Tenda dan selimut yang ternyata
paling urgent dan penting telah
mereka lupakan. Sang ketua kelompok mengatakan bahwa sudah disediakan tenda
oleh panitia dipuncak gunung, jadi semua anggota pecinta alam tingkat sekolah
menengah atas tersebut tak ada yang menyiapkan tenda satupun.
Saat hari H
sudah datang, berkumpullah ratusan orang di alun-alun sebuah kota dekat gunung
Sindoro. Gunung yang terletak di kota Wonosobo, Jawa Tengah yang mempunyai
ketinggian 3.150 diatas permukaan laut itulah yang menjadi target para pecinta
alam untuk ditaklukan. Inilah kali pertamanya bagi Nadia dan beberapa teman
lain mengalami serunya mendaki gunung tinggi yang selalu dilihatnya setiap
hari. Ba’da adzan Ashar berkumandang, berkumpullah semua peserta untuk acara
pembukaan oleh bupati Wonosobo dan beberapa orang-orang tinggi lainnya.
Waktupun berputar
dan menunjukkan pukul setengah lima. Lapar dirasa oleh sebagian peserta,
termasuk Nadia. Saat itu, gadis belia tersebut duduk disebelah kakak kelasnya
yang bernama Ema. Dengan jilbab besar, baju dan celana longgar dia memegang
tangan Nadia dan berbisik “Bismillah ya dek”. Nadia pun kaget dan menganggukkan
kepalanya. Sempat asing sosok Ema di mata Nadia. Tak berapa lama, Ema
memberikan sepotong nting-nting (makanan ringan terbuat dari kacang dan gula
jawa) berukuran tiga kali lipat dadu ular tangga. Nadia menerimanya dengan
sedikit ragu, karena menurut Nadia, Ema adalah orang asing dalam hidupnya. Mereka
belum pernah bertemu sebelumnya.
Waktupun semakin
berputar, beberapa truk mulai menjemput para peserta pendaki gunung yang
terdiri dari mahasiswa, umum dan segelintir siswa sekolah tingkat atas. “Yah kita
gak kebagian truk”. Kata salah seorang teman Nadia. Terpaksa Nadia dan teman
yang lain menunggu jemputan bus kecil untuk menampung mereka. “Dimakan dek
nting-ntingnya” kata Ema meminta Nadia untuk memakan jajan darinya. Nadiapun
membuka bungkus plastik bening yang membalut makanan ringan tersbut. “Jangan
lupa baca bismillah ya dek sebelum makan”. Pesan Ema dengan senyum ramah. Nadia
hanya mengangguk dan segera membaca basmallah sebelum memakannya.
Akhirnya jemputan
bus kecil datang. Nadia dan teman lainnya berangkat menyusul rombongan
mahasiswa yang telah berangkat dengan menggunakan truk. Merekapun berkumpul
disuatu desa dekat dengan perkebunan teh dibawah gunung Sindoro persis, di
daerah Kejajar, Wonosobo. Tak lupa sebagian peserta melaksanakan ibadah sholat Magrib
dan Isya sebelum keberangkatan.
Semua makanan,
senter dan koyok sudah siap didalam tas ransel masing-masing. Nadia mulai
menggandeng tangan Dian, teman sekelasnya. Ema, tak membawa apapun termasuk
tas. Dia hanya membawa segenggam keberanian dan seikat semangat tinggi untuk
menaklukan gunung besar nan indah tersebut.
Akhirnya,
semuanya mulai berjalan mendaki gunung. Dengan bermodalkan senter dan alat
penerang, semua berjalan menuju puncak gunung. Pemandangan malam terlihat
indah, bintang-bintang bertaburan dilangit tanpa satupun awan menyelemuti ribuan
bintang tersebut. Diawal perjalanan, Nadia berjalan bersama Dian dan kakak
kelas yang lain, tak terkecuali Ema. Setelah melewati pos pertama, Nadia
mengerluarkan satu buah apel yang ia simpan dalam tasnya. Karena terasa berat,
ia meminta dian untuk membawakan tas ranselnya. Dian pun tak keberatan.
Sesampainya dipertengahan,
Dian tertinggal bersama rombongan lain dibelakang. Tiba-tiba, entah bagaimana
ceritanya, Ema berada disebelah Nadia dan mengajaknya berbincang-bincang
sembari memberi motivasi untuk Nadia agar tetap bersemangat dan jangan lupa
untuk membaca basmallah. Tanpa tersadar, jarak antara Nadia dan Dian telah jauh
dan tak dapat dijangkau. Nadia bingung bukan kepalang. “Udah dek, jangan
bingung. Kita baca doa biar selalu dilindungin sama Allah”. Ujar Ema dengan
semangat tinggi dan senyum lebar yang selalu ia pamerkan. Hanya tersisa satu
senter yang ada ditangan Nadia sekarang. Ema tak satupun membawa tas jinjing atau
sebagainya.
“Matilah aku”.
Batin Nadia cemas. Tak berapa lama, ada beberapa teman lain datang menyusul. “Oi!!
Kita butuh senter” Teriak Angga, salah satu teman laki-laki Nadia. Tanpa ragu
Nadia berikan senternya ke Angga dan merekapun mulai menyusuri jalan setapak
yang penuh dengan semak belukar dan pohon-pohon tinggi. Sesampainya ditengah
perjalanan. “Mbak, mereka dimana?” Tanya Nadia dalam kegelapan sembari
menggandeng tangan Ema. “Mbak juga gak tau dek, apa mau istirahat disini dulu?”
Jelas Ema yang kemudian duduk diatas bebatuan dalam kegelapan.
Beberapa menit
kemudian, ada segelintir cahaya senter datang mendekat. “Mas!! Boleh ikut g?”
teriak Nadia. “Boleh, ayo ayo!” Jawab segerombolan laki-laki yang menjinjing
tas besar. Terlihat pucuk gunung yang mulai mendekat kearah Nadia. Indah dalam
kegelapan malam dan terdapat secercah cahaya-cahaya kecil berjalan menuju
puncak gunung tersebut. “Capek dek?” tanya Ema dan kemudian menyuruh Nadia
untuk berbaring. “Perutku sakit mbak”. Ujar Nadia sembari menjonkokkan kaki dan
memegang perutnya.
“Waduh, gak
ada makanan e dek”. Sahut Ema yang
mulai berwajah bingung tapi tetap optimis. “Apa mau istirahat sampai disini
aja?” Tawar Ema kepada Nadia yang mulai merebahkan badannya diatas semak-semak.
Nadia melihat hanya melihat keatas. Aku tak
melihat pucuk gunung Sindoro, berarti aku udah hampir sampai dipuncak. So, aku
gak boleh nyerah sampai disini. Batin Nadia optimis. Tak berapa lama, Nadia
memutuskan untuk meneruskan kembali perjalanannya dengan mengikuti beberapa
orang yang membawa senter. Setiap kali badan terasa lelah dan perut mulai
melilit, Nadia memutuskan untuk beristirahat sejenak sembari menunggu
gerombolan lain yang membawa senter lewat.
Tak berapa
lama, Nadia pun mulai melewati jalan berbatuan yang sangat besar. “Dek, tenang,
kita hampir sampai” Jelas Ema. “Kata temenku yang pernah naik gunung, ketika
kita sudah melewati jalan yang berbatu seperti ini, itu tandanya kita hampir
sampai” Jelasnya. Mendengar penjelasan dari Ema, bertambahlah semangat dan rasa
optimis Nadia untuk menaklukan gunung tersebut.
Benar saja,
tak berapa lama mendaki dan memanjat jalan bebatuan yang kadang-kadang licin,
sampailah mereka di puncak gunung Sindoro. Beberapa bendera tertancap diatas
tanah dan lengkungan besar kecil melengkapi luasnya puncak gunung tersebut. “Dek,
Alhamdulillah kita udah sampai puncak” Teriak Ema sambil menggandeng tangan
Nadia. Nadia masih terlihat bingung. Dia sempat berfikir bahwa dia belum sampai
di puncak karena melihat adanya lengkungan tanah yang besar di beberapa jarak.
Akhirnya,
sakit melilit perut Nadia tak kuasa ia tahan. Dia mencari-cari tenda yang
tersedia untuknya, namun tak ada daya. Dia hanya bisa merebahkan badannya
sambil memegang perut dan menekukkan kakinya karena dinginnya udara puncak
gunung. Ema pun mulai kebingungan. Dengan tanpa ragu dia memintakan selimut
untuk Nadia kepada beberapa mahasiswa yang sedang asyik ngobrol dan menikmati indahnya alam raya dipuncak gunung tersebut.
“Mas, ada yang
punya selimut? Adik saya sakit.” Teriak Ema dengan berani dan akhirnya iapun
mendapatkan beberapa helai selimut untuk menyelimuti Nadia agar tak kedinginan.
“Jangan disitu dek, sini masuk ketenda aja.” Ujar salah satu peserta yang
berbaik hati memberikan beberapa space-nya
untuk dipakai. “Alhamdulillah, dapat tumpangan tenda. Sini dek, mbak peluk.”
Ujar Ema dangan wajah masih terlihat semangat dan senyum lebar yang masih
dipamerkannya.
Walaupun telah
berselimutkan tiga lembar selimut tebal, dinginnya udara dipuncak gunung tetap
menembus lapisan-lapisan selimut tebal tersebut. Sinar cahaya mulai mencercah,
silaunya sinar matahari membuat mata Nadia terbuka. Aroma mi instan mulai masuk
kedalam tenda. Ternyata beberapa mahasiswa pecinta alam yang rela menyisakan
beberapa space di tendanya untuk Nadia
dan Ema sedang memasak mi instan menggunakan kompor gas kecil dan panci kecil
untuk memasak.
“Ini dek,
makan dulu biar perutnya gak sakit lagi.” Tawar salah satu mahasiswi berambut
panjang berjaket tebal dengan warna kuning gading. Aku coba memakan mi yang
baru masak tersebut saat panas. “Umph,, asin kak, panas pula.” Ujar Nadia
sambil mengernyitkan dahinya dengan wajah nyengir. “Iya, itu soalnya mi rebus,
dan kita sengaja Cuma ngasih air sedikit buat netralin asam di lambung.” Jelas
salah satu mahasiswa yang lainnya.
Mereka semua
sangat baik dan dewasa. Benar-benar seperti keluarga yang sedang kamping di
luar. Satu persatu, beberapa peserta mulai tiba di puncak. Kebanyakan mereka
bercerita ini itu, bahkan tak jarang ada yang bercerita tentang hal mistis yang
mereka alami selama perjalanan menuju puncak. Nadia hanya tersenyum sambil
melihat-lihat indahnya pemandangan sekitar gunung tersebut. Waaahhhhhh tinggi
banget gunung ini, semuanya jadi terlihat kecil. Telaga yang luas dibawah
lereng sana, terlihat seperti kolam ikan yang kecil yang berbentuk unik. Batin Nadia
bangga karena telah berhasil menaklukan salah satu gunung besar di kotanya.
Selang beberapa
jam, tim panitia menyuruh semua peserta untuk berkemas. Ada dua panitia yang
mendekati Ema dan Nadia. Yang satu berambut gimbal sambil membawa payung
berwarna pink, yang satunya berbadan kurus tinggi berambut lurus panjang sebahu.
“Dek, katanya sakit ya? Nanti turunnya sama kita ya.” Sahut panitia kurus
tersebut. Nadia hanya mengangguk dan melihat-lihat sekitar puncak gunung
tersebut.
“Eh ada kawah
ya disana?” teriak Ema kepada panitia tersebut. “Iya, tapi udah kering, tinggal
cekungan-cekungan doang.” Jelas mas Willy, panitia berambut lurus panjang
sebahu. “Jangan coba-coba mengambil apapun dari gunung ini ya, nanti kalo
kalian ambil satu butir kerikilpun, kalo kalian pulang, takutnya nanti disuruh
ngembaliin lagi sama penunggunya.” Jelas mas Eli, panitia berambut gimbal dan
membawa payung pink tersebut.
Sontak Nadia
pun langsung takut dan niatan untuk memetik bunga edeleweis atau yang dikenal dengan bunga abadi itupun gagal. Tak berapa
lama, mereka pun turun gunung melewati jalan bebatuan berdebu dan licin. Ada beberapa
pohon yang mulai gersang dan gosong terbakar. “Lho, kok pohonnya pada gosong?”
tanya Nadia penasaran. Panitia hanya menjelaskan adanya kebakaran hutan di beberapa
titik gunung tersebut karena panasnya terik matahari.
Berkali-kali
selama perjalanan kembali menuju desa dimana mereka memulai perjalanan diisi
dengan istirahat, duduk dan makan. Maklum saja, perut Nadia sering kambuh. Jadi
setiap berhenti, ada saja tawaran makanan yang Nadia dapat dari beberapa
peserta yang berjalan melewati mereka. Mulai dari kacang, royco, jeruk, coklat
sampai obat masuk angin Nadia dapatkan dari orang-orang baik yang lewat.
Akhirnya,
sampailah Nadia dan Ema di pos pertama. Mereka pun berkumpul dengan teman-teman
mereka. Banyak cerita ini itu yang didapat. “Huhhh Nadia,, kalo tau sakit perut
gak usah naik gunung.” Ujar salah satu kakak kelasnya yang berbadan gemuk. “Aku
gak tau kalo mau sakit perut. Ini pertama kalinya aku ngrasain perut melilit. Lagian
salah siapa tas ranselku yang isinya makanan dibawa Dian.” Jawab Nadia sedikit
sewot. Tak berapa lama dua gelas teh hangat datang khusus dibawakan untuk Nadia
dan Ema. Mereka serasa jadi anak emas selama diperjalanan pulang.
Tak berapa
lama, mereka mulai menuju pedesaan dan menutup acara bersama-sama. Senang rasanya bisa mengenal banyak
mahasiswa dan orang-orang dewasa yang baik hati. Batin Nadia dengan senyum
ramah yang mulai menghiasi wajahnya saat itu. Dengan semangat tinggi dan
kekuatan bismillah, Nadia dan Ema dapat menaklukan gunung yang tingginya 3.150
meter itu. Adzan magribpun berkumandang di Alun-alun kota, Nadia menunggu salah
satu keluarganya datang menjemputnya. Akhirnya tak berapa lama, ayahnya datang
menjemputnya dan sampailah Nadia di rumah dengan selamat.
Pare, 19 April
2013
12.27 WIB
Comments
Post a Comment