Cuaca tak Memungkinkan, Bimbel Diliburkan, Rumah ‘Simbah’ Jadi Incaran
Pagi ini, badanku terasa sakit semua, mataku masih berat untuk terbuka, tapi jam yang sudah menunjukkan pukul 5 pagi ini membuatku harus bangun
dan segera mengambil air wudhu. Aku pun beranjak dari kasur tinggi dan segera
membuka pintu kamar kost. Mataku masih berkedip-kedip sembari berjalan menuju kamar
mandi yang berada di sebelah utara kamarku. Aku pun segera mengambil air wudhu
dan mulai agak tersadar jika pagi ini terasa tak biasa. Ku tengok langit yang
masih terlihat gelap dengan butiran-butiran putih jatuh dari langit, aku pikir
hanya debu biasa, aku pun masuk ke kamar dan melakukan munajat kepada Sang
Pencipta.
“Mbak, katanya hujan abu dari gunung Kelud.” Kata adikku saat mataku sedang
terfokus pada kitab suci kecil berwarna pink. Aku hanya bisa menanggapi biasa
karena aku pikir hujan abu tak akan setebal saat Merapi erupsi. Aku dan adikku
pun mulai bercengkrama di dalam kamar tanpa menengok luar yang ternyata sudah
tertutup abu, tak berapa lama bunda kost-ku yang rumahnya tepat di depan kamar
kostku yang hanya berjarak beberapa meter saja memanggilku dan adikku untuk
berlindung di rumahnya. Seperti biasa, aku dijemput oleh anak perempuan
pertamanya yang berumur 12 tahun, Kak Izza.
“Sini aja mbak rame-rame,, kasihan kalo di kamar nanti. Lihat mbak, abunya
tebal sekali dan langitnya gelap, kayak pas merapi meletus.” Kata bunda kost
yang sudah menganggapku seperti saudaranya sendiri.
“Wah hujannya kok coklat bunda? Aku mau sekolah bunda, nanti kalo gak
sekolah dimarahi bu guru.” Celoteh dek Aisyah, anak bungsu bunda kost yang
masih berumur enam tahun dengan potongan rambut mirip Dora.
“Sekolahnya libur dek, bu guru gak bakal marah kok.” Jawabku mencoba
menenangkan kegalauannya. #lagisokbijak
“Dulu waktu merapi juga kayak gini, aku masih kecil, trus aku nginep di
tempat pak dhe, bla,, bla,, bla,,” Si kecil Aisyah tak pernah berhenti bercerita
ini itu.
Bunda kost yang punya usaha katring sudah mulai sibuk di dapur, tak
terkecuali Izzah yang selalu tekun dan rajin membantu bunda kesayangannya. Tak
berapa lama dua mug besar berisi teh hangat datang, ditambah sepiring kecil
rolade sudah tertata rapi diatas nampan.
“Ini mbak, buat sarapan, di luar gak ada yang jualan makanan lho pagi-pagi.”
Sahut bunda dengan senyum ramahnya.
Aku merasa sangat, sangat bersyukur dipertemukan oleh Allah dengan
seseorang yang baik hati seperti bunda dan anak-anak cantiknya.
Hujan abu masih berjatuhan dari langit, aku sudah bersiap-siap untuk pergi
ke kantor. Kantorku berada sekitar 2 km dari kostku. Aku bekerja sebagai kepala
cabang dan tentor sebuah bimbingan belajar yang cukup terkenal di kota ini,
kota Magelang. Cabang bimbel yang aku kelola berada di kecamatan Mungkid yang
berjarak cukup jauh dari kabupaten. Maka dari itu aku memutuskan untuk mencari
kost yang dekat dengan tempat dimana aku bekerja dari pada tinggal bersama
nenekku yang rumahnya dekat dengan kota. Ketika aku sedang bersiap-siap
mengenakan jilbab 120 cm ku, ku dengar getaran telepon genggam milikku.
Panggilan dari mbak Erni, admin yang selalu setia dan cekatan mengatur jadwal
dan melayani konsumen.
“Mbak, gak usah berangkat aja, aku udah sampai kantor tapi barusan pak bos
bilangnya libur... wah jan udah kena
debu semua mbak aku, malah libur.” Celoteh mbak Erni yang terdengar cukup
sabar.
Ku lepas lagi lipatan jilbab dan ku sungkurkan badanku di atas kasur.
“Emang ini waktunya buat tidur,, rasanya badanku masih lemes sama sakit.”
Ujarku dengan nada lemas dan mulai menarik selimut.
Adikku yang melihatku malas-malasan mulai menarik selimut yang sudah
menutupi tubuhku.
“Mbak,, cari maem yuk,, laper nih. Masak gak ada orang jualan ya? Ayo mbak,
jangan tidur melulu.” Adikku sepertinya sudah kelaparan. Tapi aku malas mencari
makan di suasana yang seperti ini. Aku yakin tak ada penjual nasi yang buka
ketika hujan abu tebal menutup bumi kota sejuta bunga ini.
Tak berapa lama, hujan abupun sedikit reda, ku putuskan untuk singgah di
tempat ‘simbah’ yang rumahnya berjarak sekitar 25 KM karena aku pikir tak akan
ada penjual nasi yang buka seharian ini mengingat hujan abu telah menyelimuti
kota ini. Dengan singgah di tempat ‘simbah’, setidaknya aku tak akan terlalu
kesulitan mencari makanan. #hehe
Aku dan adikku pun mulai berpamitan kepada bunda kost dan pembantunya untuk
singgah sehari di tempat simbah. Sebenarnya kami sudah ditawari sarapan oleh
bunda sekeluarga, tetapi kami sudah bersiap dengan jaket dan masker yang sudah
menutup dan menempel rapat di badan kami. Nolak rejeki deh, hehe..
Ku mulai starter motor matic merah yang biasa dipakai adikku dan kami pun
melaju cukup kencang dengan butiran-butiran abu yang menutup seluruh jalan.
Jarak pandang pun tak jauh, debu-debu mulai mengotori badan kami.
“Mbak, jangan ngebut-ngebut, pelan aja.” Ujar adikku dengan suara
samar-samar karena tertutup masker.
Aku hanya mengangguk dan tetap dengan kecepatan 60-80 km/jam. Abu mulai
masuk ke mata, aku tak berani mengucek mataku, rasanya sudah mulai sesak
nafasku, tetapi aku tetap melanjutkan perjalananku. Mataku mulai melihat
bintik-bintik putih yang berputar-putar, sepertinya aku hampir pingsan. #lebay
Akhirnya, setengah jam berada di jalan yang penuh abu, sampai juga di rumah
‘simbah’. Ku parkir ‘si merah’ tepat di depan warung kelontong nenekku, aku
ketok pintu kaca jadul bertepi kayu coklat.
“Assalaaaaamu’alaikum....” Sapa ku dengan suara sedikit keras.
“Wa’alaikumussalam...” Balas nenekku dari dalam rumah dan mulai membukakan
pintu jadulnya.
“Mbah,, kita numpang bobok sini ya,, hujan abunya tebel e.. ini aku bawakan
mantau sama ragout buat digoreng.” Kataku yang langsung masuk kamar dan menaruh
tas ransel besarku yang selalu menemaniku kemanapun aku pergi.
Tak berapa lama, aku ganti pakaianku yang penuh dengan abu dan aku goreng
mantau serta ragout yang ku beli di tempat bunda kostku, maklum bunda kostku
juga jualan frozen food dan kebetulan keluargaku memang suka dengan beberapa
jenis frozen food. Setelah setengah bungkus mantau dan ragout selesai ku
goreng, aku cicip beberapa dan aku pun mulai merebahkan badanku di atas spring
bed baru yang ada di kamar tamu rumah ‘simbah’ku. Aku memang baru sembuh dari
sakit dan semua badanku masih terasa lemas, aku sangat butuh banyak istirahat.
Untungnya aku bisa singgah di rumah ‘simbah’ yang cukup aman, nyaman,
tentram, dan luas. Aku pun bisa bersantai dan beristirahat cukup lama, soal
makan, nenekku sangat ahli memasak, jadi nenekku masih punya semangat dan
tenaga untuk selalu siap menyediakan dan memasak apa saja yang di sukai oleh
suami dan cucu-cucunya. Benar saja, setelah beberapa jam aku menutup mata, bau
sedap sudah mulai terbang-terbang dan masuk ke hidungku. Aku pun akhirnya
membuka mata dan merasakan cacing-cacing di perutku sudah mulai menari-nari.
Segera aku lipat selimut yang menutup tubuh kurusku dan beranjak bangun menuju
ruang makan yang tepat di depan kamar yang aku tempati.
“Ayo, kalo mau makan, nenek udah bikin nasi godog.” Kata nenekku yang
sedang sibuk menyiapkan semangkuk besar nasi godog.
Aku pun segera mengambil piring dan sendok yang ada diatas meja makan. Ku
ciduk beberapa centong nasi godog buatan nenekku yang paling cantik dan ku
santap nasi berwarna coklat itu dengan lahap. Rasa bumbu rempahnya sangat
terasa, gurih dan manis yang menjadi ciri khas masakan keluargaku memang sudah
melekat di lidahku. Memang sangat tepat keputusanku dalam mengincar rumah
‘simbah’ untuk ku jadikan tempat berteduh, berlindung, dan bersantai. Hehe...
Comments
Post a Comment