Catatan si Jopi (Jomblo pake Prinsip)
Episode 1
Perkenalkan namaku Riska, Riska Awra Widi yang udah 23 tahun nge-jomblo.
Kata orang, single itu prinsip, jomblo itu nasib. Tapi menurutku, jomblo itu
unik dan asyik. Makanya, aku lebih senang bilang kalau aku ini jomblo, bukan
single. Menurut orang, mungkin aku terlalu lurus dalam beragama. Dengan jilbab
besar dan gamis yang sering aku pakai, banyak orang menilaiku bahwa aku adalah
pengikut aliran A, B, atau C. Hemmm whatever
they think. It’s real of me and I’m neutral.
Dari aku duduk di SMA, banyak temanku yang selalu bertanya “Ris, kamu gak
panas pakai jilbab tebal?”, “Ris, kamu gak mau pacaran?”, “Loe kenapa gak mau
deket ama gue? Gue bukan mahrom loe?”, dan sebagainya. Aku hanya menanggapi
dengan senyum termanis agar mereka tak tersinggung. Ini prinsipku, ini agamaku, ini hidupku. Batinku saat itu.
Aku memang terkenal pendiam dan sedikit cuek, apalagi dengan yang namanya
laki-laki. Sulit bagiku untuk berkomunikasi dengan mereka setelah aku berubah
dan bertapa di surau dekat rumahku selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.
#lebay
Sewaktu kecil, aku memang sering bermain bersama teman laki-laki dari pada
teman perempuan, karena dulu aku menganggap teman-teman perempuanku cengeng dan
manja. Ketika aku beranjak dewasa dan mengikuti beberapa kegiatan di organisasi
keagamaan di SMA dulu, sedikit demi sedikit aku menarik diri dan mencoba
memperbaiki diriku. Aku mulai menjaga jarak dengan lawan jenis, aku mulai
mengenakan jilbab yang tak transparan, dan aku mulai belajar menjadi anak yang
rajin, mengingat dulu di SMP aku adalah seorang ratu nyontek sejagat dan
seorang perempuan tomboy yang ditakuti banyak siswa di sekolah. #lebay lagi
Entah kesambet malaikat apa, aku yang tadinya selalu bermain dan tak pernah
belajar, yang tadinya hanya bisa menyontek berubah menjadi sosok yang pendiam,
rajin, dan cuek. Beberapa temanku mulai mengatakan aku pintar, kalem dan
sebagainya. Allah memang baik, menutupi keburukan hambaNya yang sudah
bertaubat.
Dua tahun duduk di bangku SMA (emang ada lem-nya), aku bertemu dengan dua
orang sahabat baikku yang gokil abis. Aku heran, kenapa disetiap hidupku, aku
harus bertemu dengan orang yang gokil, narsis, dan rempong abis. Mungkin
termasuk aku sendiri kali ya?
Lia dan Rofi, itulah kedua sahabatku yang terkadang membuatku illfeel.
“Eh lihat tuh cowok yang duduk disana.. alisnya tebel, hidungnya mancung,
beuuhhh cakep banget yak.” Ujar Lia yang saat itu sedang mempersiapkan diri
berbaris di barisan tengah di upacara pada hari senin.
“Hemmm cakepan sampingnya kalee, tuh rambutnya jabrik, kulitnya putih,
tinggi pula, kayak Tomingse.” Tambah Rofi yang bermata sipit dengan tatapan
tajam ke setiap laki-laki.
Aku hanya pura-pura tak mendengar obrolan mereka. Tiba-tiba
“Plakkk..!!!” Tabok Rofi ke arah pundakku dan berbisik. “Kamu milih yang mana
Ris?”
“Aku milih yang kayak Tatsuya Mizuno di film kartun.” Jawabku cuek dan
mulai memperbaiki barisanku.
Rofi dan Lia hanya terdiam sambil melirik satu sama lain. Hemmm, sepertinya
mereka punya rencana buruk buatku.
Mereka tak pernah menyerah untuk membujukku mencari pacar, maklum waktu itu
umurku hampir 17 tahun, dan merupakan hal yang sangat memalukan sekali ketika sweet seventeen kita gak punya gebetan.
Saking gigihnya mereka membujukku yang tak pernah mau, mereka berinisiatif
menyomblangiku dengan kenalan mereka yang udah kuliah di semester 3. Lia dan
Rofi sengaja ikut acara TP alias Tebar Pesona di radio buat mendapatkan
pasangan. Biasa masih labil. Ujung-ujungnya nanti ketemuan, SMS-an, kalo cocok
jadian, kalo gak cocok ya pura-pura lupa ingatan.
Berkali-kali mereka mencoba ketemuan dengan seseorang yang dikenalnya lewat
acara TP. Tak lupa, mereka juga mengajakku untuk ikut mempermalukan diriku
sendiri. Pertama kali mereka mengajakku untuk ketemuan dengan seseorang yang
berambut keriting dengan beberapa salju diwajahnya (jerawat). Aku yang saat itu
sibuk membaca dan mencari buku-buku hanya menyapa sekilas dengan senyum cuek.
“Ris kenalin, ini Dono.” Kata Lia yang saat itu sumringah banget bisa
sukses ketemuan sama orang lewat acara TP.
“Riska.” Perkenalan singkat yang membuat image-ku jadi “sok jual mahal”. Bukan begitu maksudku. Aku memilih
jomblo itu karena prinsip, aku tak mau pacaran. Di dalam kamusku, kata pacaran
itu ibarat permainan. Laki-laki jadi pemainnya, kita jadi game-nya.
Mungkin saat itu, aku terlalu mainstream
dalam bertindak. Sampai-sampai Rofi dan Lia marah padaku gara-gara sikapku yang
terlalu cuek sama lawan jenis.
“Kalo emang gak mau pacaran, temenan juga bisa kan? Gak harus kayak gitu
juga kali sama cowok.” Kata Lia sewot dengan pipi yang mulai memerah. Maklum,
di kota ini, hawanya sangat dingin, jadi beberapa orang yang berkulit putih
akan terlihat merah di pipi ketika panas hinggap.
“Iya Ris, loe tuh jangan kayak gitu, kasian juga cowok kalo diperlakuin
kayak gitu sama loe.” Tambah Rofi si anak Jakarte yang kayak super women.
Segala barang berat bisa dibawanya dengan mudah. Termasuk gulungan karpet besar
yang ada di Masjid Sekolah.
“Iya, iya,, besok-besok enggak deh.” Kataku melegakan hati mereka.
Benar saja, tak berapa lama, mereka ketemuan lagi dengan dua orang
laki-laki yang memang terlihat cakep berkulit putih dan berbadan tinggi. Saat
itu, kami satu sekolahan sedang mengadakan kemah di pelosok. Dan anehnya, kok
dua laki-laki itu mau ya ketemuan sama temen-temenku yang aneh ini. Lia hobinya
nyanyi gak karuan dan Rofi hobinya jalan-jalan gak beraturan. Tapi, meskipun
begitu mereka punya sisi positif yang membuatku tak ragu untuk bermain dengan
mereka. Mereka selalu menjalankan puasa senin dan kamis. Aku sendiri heran.
Anak seperti Lia yang modis dan jaga image
banget mau dan gak segan buat menjalankan puasa senin kamis. Rofi, walaupun dia
terlihat seperti perempuan berotot, dia adalah pejuang sejati yang rela jalan
kaki beberapa kilo melewati jalan yang menanjak dan berbelak-belok pas pulang
sekolah.
“Kenalin Nad, Ini Kasino dan ini Indro.” Kata Rofi sambil mendorongku untuk
lebih maju sedikit.
“I..iya,, aku Nadia.” Kataku dengan senyum kaku dan malu-malu. Andalan kami
waktu itu adalah memakai nama palsu agar kami aman dari kejaran orang-orang
yang tak bertanggung jawab.
Yang benar saja, di perkemahan, yang lainnya sibuk
masang tenda, ini malah ketemuan sama laki-laki asing tak dikenal. Tak lama
berselang, kami malah duduk di warung makan, sambil menunggu hujan reda. Yang
lainnya udah pada sibuk benerin tenda, ambil barang ini itu yang terbawa arus
karena lapangan banjir. Pas hujan sudah mulai reda dan banjir sudah mulai
menyusut, kami baru keluar dari warung dengan perut kenyang dan hati lapang.
“Jiaaahhh, barang-barangku... Tendaku kenapa jadi ambruk gitu yak.” Ujarku
kaget bukan main.
“Ayo Ris, diberesin barang-barangnya, kita mau mengungsi.” Kata Candra yang
lari tergopoh-gopoh dengan tas ransel di belakang punggungnya dan peralatan
makan di pelukannya.
“Apes banget sih aku, gara-gara ketemuan aku ketinggalan temen-temenku.”
Bisikku pelan kepada diriku sendiri.
Saat itu, aku tak jadi satu kelompok dengan Lia dan Rofi, kita terpisah.
Dan di kelompokku ini, aku selalu dijodohkan dengan Permana, laki-laki berkulit
putih dengan mata sipit dan rambut serta wajah yang menyerupai Jimmi Lin.
“Ris, tau gak? Barusan pas Permana sholat, dia ditanya sama pak Qori, eh
dia malah jawab coba Ris, kayaknya kamu gak cocok deh Ris sama Permana.” Kata
Ardi yang waktu itu mampir ke pengungsian dimana aku mengungsi bersama
teman-teman sekelompokku. Ada sekitar dua puluh orang di kelompokku, sebagian
besar perempuan, dan sisanya laki-laki. Ketika mengungsi, laki-laki dan
perempuan memang dipisah agar menghindari hal negatif.
“Gimana ceritanya Di?” Tanya Anis penasaran.
“Kan tadi pas sholat Ashar, aku sama Permana di belakang. Nah Permana
colek-colek sebelahnya. Ketahuan ama pak Qori. Trus dia pura-pura sholat. Nah
ditanya sama pak Qori, sholat ga? Eh dia malah jawab sambil manggut-manggut.
Sholat pak.” Kata Ardi sambil ketawa ngakak nggak selesai-selesai.
Yang lainnya ikut ngakak. Aku hanya bisa menahan tawa dengan wajah datar
dan cuek. Sedikit salah tingkah sih. Tapi menurutku kita hanya berteman dan tak
lebih, kita juga jarang menyapa, jarang ngobrol juga.
“Riska, tuh sukanya malu-malu kucing kalo ketemu Permana, ya pura-pura cuek
gitu deh. Padahal hatinya seneng banget kalo ada dia.” Tambah Anis yang
bener-bener tak pernah menyerah untuk menjodohkanku dengan Permana.
Rupanya, yang ingin menjodohkanku dengan seorang laki-laki tak hanya Lia
dan Rofi, tetapi juga teman satu kelompokku. Mungkin mereka melihatku kasihan
yang kemana-mana selalu sendiri tanpa ada seorang laki-laki mengawalku. Tak
apa, aku lebih suka menikmati duniaku sendiri tanpa interupsi.
Hampir satu tahun teman-teman sekelompokku menjodohkanku dengan Permana
setelah acara perkemahan itu selesai. Dan akhirnya teman-temanku capek sendiri.
Mereka mundur teratur setelah tahu aku tak mau pacaran dan mulai menjauh dari
laki-laki agar tak dijodoh-jodohin lagi. Ada alasan lain dibalik itu.
Ketika aku selesai diskusi dengan teman-teman seorganisasiku, aku pulang
yang tak sengaja berbarengan satu arah dengan Rosyid. Laki-laki berbadan subur
dan berkulit hitam dengan tas warna kuning kesayangannya. Tadinya kami berjalan
bersama teman yang lain, tapi yang lainnya sudah mulai naik angkot
masing-masing. Tinggallah aku dan Rosyid. Tak berapa lama, angkot yang ditunggu
Rosyid datang.
“Aku duluan ya, ayok main ketempatku.” Tawar Rosyid sambil mencolek
tanganku. Sedikit kaget sebenarnya karena tak terbiasa dekat dengan laki-laki.
“hehe,, makasih, kalo aku main ketempatmu, aku pulangnya kapan? Sekarang
udah jam 4.” Tanyaku yang tak tahu kalau ternyata dibelakangku ada seseorang
yang cukup lama mengintaiku.
“Ya besok lah.” Jawab Rosyid tanpa wajah berdosa.
Aku hanya diam dan langsung jalan.
“Ehemmmm,,,” Ada suara seseorang yang memang benar-benar mengintaiku dari
tadi. Entah mulai kapan, aku mulai curiga dengan suaranya. Aku sangat kenal
suara itu. Dan seketika aku mulai mengernyitkan dahiku sembari membalikkan
badan pelan-pelan.
“Ehhh Ibuku,,” Kataku dengan senyum pura-pura tak berdosa.
“Gitu ya anak ibu sekarang, udah SMA udah berani jalan sama laki-laki.”
Kata ibu dengan wajah sinis dan payung serta belanjaan yang terikat di
tangannya.
“Eh enggak bu, kita Cuma temenan, beneran, dia temen diskusi aku, tadi kita
pulang bareng sama Lia sama Rofi, tapi mereka udah naik angkot duluan, bla bla
bla bla.” Jelas panjang lebar dariku dan sepertinya hal itu tak mempan.
“Yah mikir pelajaran dulu, gak usah mikir yang lain.” Kata ibuku singkat
dan mulai keberatan membawa belanjaannya.
Saking bingungnya, aku lupa tak menawarkan bantuan dan membantu ibuku
membawa belanjaannya sampai di rumah.
“Hati-hati ya.” Bisik ibuku sambil mencolek tanganku.
Aku bingung tak karuan.
“Ibu kenapa?” Tanyaku datar.
“Lha yang tadi itu, bilang gitu kan sama kamu.” Jawab ibuku masing
mengungkit hal yang tadi.
Aku mulai lagi menjelaskan dari huruf alif sampai huruf ya. Tetap ibuku
seperti tak peduli anak perempuannya menjelaskan apa. Intinya satu, ibuku tak
suka melihatku jalan berdua dengan laki-laki dengan alasan apapun.
To be continued.......
Comments
Post a Comment