Gugur Satu Tumbuh Satu
Episode 3
Akhirnya, aku merayakan sweet
seventeenku tanpa seorang yang spesial selain Lia dan Rofi dan sepanci
bakso yang dibuat oleh ibuku tercinta untuk aku santap bersama mereka. Aku
kira, setelah Bagas, tak akan ada lagi laki-laki yang masuk ke dalam
kehidupanku. Ternyata, tak berapa lama ada nomer baru masuk dengan pesan
singkat di handphone nokia 3250 milikku.
“Hallo, ini Riska bukan?” Pesan misterius yang aku sendiri tak tahu siapa.
“Iya, ma’ap nee cuphu ea?” Eh salah tulis,, “Assalamu’alaikum Iya, maaf ini
siapa?” Balasku penasaran.
“Aku Asep, temen Wati. Kemarin aku dikasih nomer kamu.” Lagi-lagi teman
yang lain yang mulai ikut-ikutan mempromosikanku. Bagai barang promosian yang
dilempar kemana-mana nih hidupku saat itu.
Sengaja aku tak membalasnya karena aku pikir tak penting dan aku juga tak
mengenalnya. Beberapa jam kemudian ada pesan singkat lagi yang masuk ke inbox.
“Ris, Asep itu temenku, dia Cuma mau jadi temenmu aja, Cuma pengen kenal
doang, gak lebih.” Jelas Wati, teman SMP ku yang sepertinya tahu kalau aku
menjomblo saat itu.
“Oh iya,,,” Jawabku singkat setengah bingung.
Trus kalau Cuma pengen kenal
harus smsan gitu ya? Aku bingung soalnya baru kali ini juga aku merasa ada
beberapa laki-laki yang ingin menjadi temanku, biasanya mereka pada takut sama
aku karena aku terlihat judes dan sangar.
“Kenapa sih setiap malam kamu g pernah bales smsku?” Tanya Asep yang mulai
ber-SMS ria denganku.
“Assalamu’alaikum Kan jam tidurku dibawah jam 8. Jadi maaf gak bisa bales.”
Jawabku singkat.
Lagian memang sejak SMA aku tak pernah tidur diatas jam 8 malam. Sehabis
sholat isya, aku biasanya kembali ke kamar dan menarik selimutku rapat-rapat.
Ditambah lagi, untuk soal tidur, aku tak bisa dibangunkan ketika suasana
genting atau alarm berbunyi kecuali aku bangun dengan sendirinya. Pernah
ditengah malam, rumahku kemasukan ular, dan semua anggota keluargaku heboh
ngejar-ngejar si ular yang ngumpet di belakang lemari. Yang lainnya pada bangun
sampai satu kampung kerumahku semua, akunya hanya membuka mata sebentar dan
tertidur lagi. Paginya ibuku Cuma bilang “Kamu tuh, yang lainnya bingung gak
karuan, kamu malah nglempus kayak ipus.”
Tak hanya itu, sewaktu sekolahku mengadakan sholat tahajud bersama selama
beberapa minggu, aku mengatur alarm di hapeku pada jam 2,3, dan 4 dini hari.
Hape aku letakkan dibawah telingaku, seketika jam 2 dini hari hapeku berbunyi
sangat keras. Teman-temanku yang lain terbangun karena suara berisik dari
hapeku, aku sendiri masih asyik tidur sampai-sampai beberapa temanku memukul
dan menendangku, dan anehnya aku tetap tak sadarkan diri.
“Eh kamu tuh orangnya alim banget ya? Sampai2 setiap bales smsku pake
salam.” Tanya Asep yang tak pernah bosan mengirim pesan singkat padaku, padahal
kita juga belum pernah bertemu sebelumnya.
Mungkin jika waktu memberikan
kesempatan kita untuk bertemu, dia akan kapok mengirimkan pesan singkatnya
padaku karena wajahku yang super judes dan datar.
“Assalamu’alaikum emm biasa aja kok, aku gak biasa kalo gak pake salam.”
Jawabku singkat.
Tak berapa lama, aku pun tak pernah membalas sms dari Asep karena aku sadar
ini detik-detik ujian nasional. Aku selalu menumpuk buku-buku tebal diatas meja
belajarku. Sering aku tertidur diatas tumpukan buku-buku tebalku. Otakku memang
pas-pasan, berbeda dengan kakakku yang tak pernah belajar tapi selalu
mendapatkan nilai seratus karena dia berotak jenius, makanya aku mencoba
belajar lebih giat dan lebih keras dengan beberapa tumpukan buku. Sebenarnya
buku-buku itu hanya aku buka dan baca sekilas, beberapa Cuma aku lihat
gambarnya, karena aku lebih suka berimajinasi lewat gambar.
Beberapa hari belajar giat, aku terjatuh sakit. Ibuku hanya bilang
“Makanya, belajar ya belajar, jangan kemaruk, semua buku-buku tebal dibuka
sampai gak ingat makan.”
Padahal jika beliau tahu aku hanya melihat gambar-gambar dari buku-buku
tersebut, sepertinya beliau akan sangat marah. Aku hanya menganggukkan kepala
dan kembali menutup seluruh badanku dengan selimut tebal yang sangat
berat.
Ujianpun akhirnya datang juga, dan setelah itu liburan menanti datangnya
pengumuman membuat semua siswa tak tenang dalam berlibur. Selama masa liburan,
ada seseorang baru yang mengontrak rumah disebelah rumahku. Namanya Miko,
seseorang yang sudah berkepala dua dan bekerja sebagai staff IT disalah satu PT
di kotaku. Setiap aku mulai mendatangi surau untuk bertapa selama
berbulan-bulan, aku selalu melewati tempat dimana Miko tinggal. Tak berapa
lama, dia pun mencoba berkenalan denganku lewat Mila, teman sekampungku.
Benar saja, dia mulai tebar pesona dan mulai ber-SMS ria denganku.
Sepertinya pepatah hilang satu tumbuh satu saat itu memang cocok untukku. Tak
berapa lama setelah Miko sering sms aku, aku jadi memutuskan untuk tak
mengunjungi surau lagi, aku memilih beribadah di rumah yang tenang dan sunyi
daripada harus ke surau dan melewati tempat tinggal Miko. Untunglah, tak berapa
lama dia pindah kontrakan dan SMS darinya tak pernah aku balas lagi. Aman..
Akhirnya, pengumuman kelulusan tiba. Alhamdulillah semua teman satu kelasku
lulus semua, kami semua bersujud bersama di lapangan dan bergembira bersama.
Aku meminta tanda tangan semua teman-temanku diatas kertas binderku. Jika ibuku
sampai tahu aku mencorat-coret bajuku,
beliau akan marah dan mungkin aku akan digantung dijemuran selama satu hari. #lebay.
Lia dan Rofi mencoba membujukku untuk ikut mencoret seragam seperti mereka.
Aku menolak dengan sopan, lagian, tak hanya aku yang segan mencoret seragam,
tetapi beberapa teman lain juga memilih mencoret-coret dan bertanda tangan ria
diatas buku diary kesayangannya.
Setelah euforia kelulusan selesai, Lia dan Rofi mampir kerumahku dan
bercanda bersama, mungkin untuk yang terakhir kali. Tak berapa lama, ibuku
pulang dari kerja, beliau hanya melirik aku dan berdiri tepat didepanku tanpa
sepatah katapun. Aku bingung. Ibuku mengacungkan jarinya kearah samping kiriku
dan bertanya “Itu seragam siapa yang dicoret-coret?”.
“Eh itu bukan punyaku bu, itu punya Rofi sama Lia, punyaku dikamar, masih
bersih, beneran, kalo gak percaya bisa dilihat.” Jawabku membela diri.
Seketika ibuku langsung masuk kedalam dan suasana berubah sedikit horror.
“Wah, Ris, sepertinya kita mau pamit dulu deh, gak enak sama nyokab loe.
Sorry ya Ris, gue gak sadar kalo naruh baju disini. Hehe..” Kata Rofi sedikit
takut dengan wajah yang mulai aneh. Begitupun dengan Lia.
Sepertinya wajah galak ibuku menular diwajahku, sehingga banyak orang yang
bilang aku ini tak ramah, judes dan sebagainya. Tapi percayalah, ibuku adalah
ibu terbaik sepanjang masa. Termasuk akyuuuu,, #PeeDeeee
Tak berapa lama, semuanya berubah, semuanya pindah, dan semuanya pergi. Aku
melanjutkan kuliahku di Jogja, Rofi dan Lia di Jakarta. Hemmm sepertinya aku
bisa menjadi seseorang yang pendiam tanpa harus berhadapan dengan teman gokil
yang selalu mengajakku berkenalan dengan laki-laki lewat acara TP. Dugaanku
meleset.
To be continued....
Comments
Post a Comment