D’ season
Ini ceritaku bersama anak-anak D’ Season. Di awal aku kuliah dan
menginjakkan kaki di kota pelajar yang terkenal dengan budaya Jawanya, aku
dipertemukan dengan sebuah kelompok yang terdiri dari empat mahasiswi centil
dengan nama D’ Season. Mereka satu kelas denganku bahkan satu kelompok saat
OSPEK. Semula, aku kira anak-anak D’ Season adalah ana-anak yang pendiam dan
pemalu sepanjang masa. Ternyata... dugaanku salah.
Di awal masa OSPEK kami, kami disuruh menyanyikan sebuah yel yel kami yang terinspirasi
oleh lagunya ST 12. Aku kira semua akan bersemangat walaupun semua anggota
kelompok kami perempuan. Kebetulan aku sebagai ketua kelompok yang
mengkoordinir mereka. Mungkin untuk mengkoordinir dan sebagainya aku masih
mampu, tapi kalau urusan nyanyi-menyanyi, aku lebih baik menyanyi dalam hati
dari pada harus menyanyi di depan umum. Aku menyuruh semua teman-teman untuk
menyanyikan yel-yel dengan suara lantang, termasuk aku memaksa diriku sendiri.
Setelah kelompok kami disuruh maju dan menyanyikan yel-yel, entah kenapa, semua
suara kami seperti paduan suara yang terdengar dari gua. Sangaaaaat pelan
sampai-sampai kelompok lain mulai mengangguk-anggukkan kepalanya karena menahan kantuk.
Semua kelompok memandang kami satu persatu. Memang tak ada laki-laki yang
menyelip di kelompok kami, dan semuanya terlihat seperti Marsyanda di film
Bidadari. Lembut dan kalem semuanya dengan senyum malu-malu walaupun ada satu
dua yang terlihat cerewet seperti Shancai dan Ratih. Mereka berdua terlihat
klop kemana-mana. Suara mereka juga lantang, terlebih suara ratih yang
terdengar mirip suara Shoimah.
Masih pada saat OSPEK. Kelompok kami di dampingi oleh seorang kakak
angkatan yang bernama Esti, mahasiswi semester lima yang berkulit hitam manis
dan berpipi chubby. Dia sangat baik
dan selalu membantu kami ketika kami kebingungan. Mungkin kami sangat beruntung
didampingi olehnya, ketimbang kelompok sebelah. Kelompok disebelah kiri
kelompok kami didampingi oleh seorang laki-laki berambut keriting dengan brewok
dimana-mana. Matanya selalu jelalatan dan tak pernah absen melirik sana sini
dengan menebar pesona brewok.
Kesanku pertama melihatnya biasa saja. Ternyata setelah masa OSPEK hampir
berakhir, Bambang memintaku untuk mengambil beberapa foto teman-temanku. Aku
pun menurut dan salah satu dari temanku tersadar ketika aku mengambil fotonya.
“Eh, ini hape siapa? Pasti mas yang brewokan itu ya?” Tanya Via kepadaku.
“Iya, aku disuruh motoin kalian.” Kataku tanpa wajah tak berdosa.
“Hee,, dihapus aja, dihapus, aku gak mau, mas-nya itu ngeri tau, dia suka
misscall-in aku. Trus matanya suka jelalatan gitu deh.” Jelas Via terlihat
cemas sambil sesekali membenarkan kacamatanya.
“Oh gitu ya, iya ah aku hapus semua aja.” Balasku yang mulai merasakan hal
yang tak enak.
“Gimana dek fotonya?” Tanya Bambang yang saat itu ingin mengambil hapenya
dan melihat fotonya.
“Udah tak hapus kak, soalnya disuruh temen. Hehe...” Jawabku pura-pura
polos. Maklum wajah sepertiku tak ada bedanya saat pura-pura polos maupun
tidak.
“Aduhhh,, kok dihapus sih, sana di foto lagi.” Katanya kesal dengan wajah
kecewa.
“Enggak mau ah, nanti aku dimarahi temen-temen.” Kataku cuek dan langsung
pergi.
Tak berapa lama setelah masa OSPEK, ada sebuah nomer baru yang selalu
mengusikku lewat hape.
“Assalamu’alaikum, ini siapa sih?” Tanyaku kesal.
“Ini Bambang, yang dulu jadi pendamping kelompok Bunga Mawar, sebelah
kelompokmu.” Jawab Bambang.
“Eh kalian ditelpon Bambang ga?” Tanyaku kepada teman-teman satu kelasku.
“Bambang yang mana Ris, yang brewokan itu ya?” Jawab Afni, salah satu
anggota D’ Season.
Aku mengangguk berkali-kali dan Afni pun menceritakan bahwa dirinya juga
sering diganggu oleh makhluk halus, eh maksudku Bambang.
“Dikerjain balik aja Ni.” Kata Shancai dengan ide cemerlangnya.
Bambang memang tak pernah absen untuk menelpon beberapa perempuan dalam
sehari. Bahkan pernah juga dia memberikan sebuah buku kepada seorang mahasiswi
yang seangkatan denganku. Beratus-ratus perempuan sudah menjadi korbannya.
Keesokan paginya, beberapa temanku mulai penasaran dan tak sabar ingin
mengerjai balik yang namanya Bambang. Benar saja, Angie, Nasti, dan Afni
berkumpul di kost Shanchai yang dekat dengan kampus. Mereka berkumpul dan menunggu
telpon dari Bambang. Tak berapa lama, nomer Bambang muncul di layar hape Afni.
“Halllo, iki sapa yak? Ngapa ko?” Jawab Shanchai dengan logat ngapaknya.
“Dek lagi ngapain ya?” Tanya Bambang mulai bingung.
“Eh apa yak?? Aduh aku mules kie?” Jawab Shanchai nyeleneh, yang lain mulai
menahan tawa.
“Kamu gak papa kan?” Tanya Bambang semakin bingung. Mungkin setelah ini,
brewoknya langsung rontok semua.
“Eekkk,, aduhh,, muless,, ugghhh,, aku lagi b*k*r nih,,ekkk.” Jawab
Shanchai yang mulai kesurupan makhluk usil.
Akhirnya telpon pun di tutup Bambang. Kebayang brewoknya yang tiba-tiba
rontok.
Semua mulai tertawa terbahak-bahak, termasuk Angie yang sekilas terlihat
seperti putri Solo yang ternyata jelmaan Fitrop. Dari situlah awal kisah
berdirinya D’ Season. Mereka berempat jadi sering kemana-mana bersama, bermain
bersama, makan bersama, tidur bersama, mandi pun bersama.#lebay
Mereka sering bermain dan berkumpul di kost Shanchai, mengingat kost
Shanchai tak jauh dari kampus. Kebetullan Angie tinggal di tempat saudara yang
jauh dari kampus, Nasti tinggal bersama keluarganya di daerah kota, dan Afni
tinggal di kost yang sedikit jauh dari kampus. Tak jarang mereka ngobrol dan
ketawa-ketiwi bersama di kampus, di warung, dan di manapun mereka berada.
Banyak orang yang senang melihat kekompakan mereka. Termasuk aku dan Ninis,
teman satu kelas mereka.
Tak berapa lama, ada acara makrab yang diadakan salah satu organisasi di
kampus kami. Aku dan D’ Season tak mau ketinggalan untuk mengikuti acara yang
menyenangkan tersebut. Kami pun berangkat bersama menggunakan bus yang ber-AC
(Angin cepoi-cepoi) sampai di tempat tujuan. Waduk Sermo. Sesampainya disana,
kami sempat berfoto ria sebelum kami menghabiskan tenaga kami untuk outbond dan
acara api unggun.
Setelah sampai di penginapan, kami menempatkan tas-tas kami dan mencari
tempat yang nyaman untuk merebahkan tubuh. Sepertinya tak ada tempat yang
nyaman, karena semuanya hanya lantai datar yang beralaskan tikar. Di malam
hari, kami mempersiapkan diri untuk mengikuti acara api unggun. Saat itu, aku
satu kelompok dengan Nasti dan anggota D’ Season yang lain terpencar ke
kelompok yang lain. di malam yang mulai dingin, perut Nasti sakit dan mag-nya
kumat, jadi aku menemaninya di tempat penginapan dan tidur lebih awal dibanding
yang lain.
Di pagi harinya, ketika aku terbangun saat matahari mulai menyingsing,
beberapa teman-teman yang berkumpul bertanya-tanya.
“Eh siapa yang tadi pagi hapenya bunyi, kayaknya ada yang telpon tapi gak
diangkat-angkat.” Kata salah satu teman yang aku lupa wajah dan namanya. Aku terdiam
karena aku tak merasa ada panggilan di hapeku.
“Kayaknya alarm deh, lagunya Ular berbisa yang dinyanyiin Hello.” Jawab
Afni yang masih sibuk membereskan isi tasnya.
Aku mulai berfikir sejenak. Aku sering memasang alarm jam 2, 3, dan 4 dini
hari. Dan biasanya aku akan terbangun sekitar jam 3, tapi hari itu, aku merasa
tak ada alarm berbunyi, padahal hape sudah aku letakkan dibawah telingaku.
“Hello ya?? Ular berbisa?? Berarti itu alarm di hapeku. Hehe...” Tanyaku
memastikan sembari memamerkan senyum garingku.
Teman-teman yang lain mulai melihatkan wajah skeptis dan sinisnya kepadaku.
Aku benar-benar tak sadarkan diri ketika alarmku berbunyi keras dan semua teman
disini terbangun gara-gara alarm yang aku taruh tepat dibawah telingaku.
Setelah itu, kami mengantri panjang sekali untuk mandi, hemmm ada yang tak
ingin aku ingat saat itu karena hal yang memalukan*
Colek @AniYunita
Kemudian, kami berolahraga bersama dan meneruskan acara outbond yang sangat
menyenangkan dan melelahkan. Setelah acara selesai, kami bersiap-siap untuk
kembali ke kampus. Ketika menunggu bus jemputan datang, salah satu anggota D’
Season yang merupakan jelmaan Fitrop merasakan hal yang aneh.
“Aduh perutku mules.” Katanya sembari memegang perutnya yang terlihat
melillit.
“Aku juga, gimana nih, mau ke toilet takut ketinggalan bis.” Kata Afni yang
juga mulai memegang perutnya.
Dalam mitos orang Jawa, biasanya batu bisa meredakan dan menunda panggilan
alam. Jadi ketika suasana genting seperti itu yang paling penting adalah mencari
batu dan menggenggamnya agar panggilan alam itu tak segera keluar. Merekapun akhirnya
mencari batu kecil dan segera menggenggamnya.
Ketika di dalam bus, kami semua duduk di paling belakang dan bercanda tawa
bersama. Ternyata beberapa kakak angkatan juga ikut nimbrung dan ikut tebar
pesona.
“Lho, kalian kok pada bawa batu sih” Tanya mas Agus, mahasiswa semester
lima dengan kepala agak gundul dan badan tinggi mirip Ronaldo.
Kami semua hanya bisa memamerkan senyum polos kami tanpa menjawab sepatah
kata pun. Kami berharap tak ada orang yang tahu jika salah dua dari kami
tadinya menahan hajat.
“Ohh,,, aku tahu, kalian orang Jawa bukan? Pasti....” Tebak Hisyam, teman
mas Agus yang berperawakan kurus.
Kami semua tetap memamerkan senyum polos kami. Kami tak ingin menjawab,
hanya ingin berpura-pura tak tahu mitos dan sebagainya. Masih berharap tak ada
orang yang tahu tentang masalah kami.
“Hahaha... pasti kalian tadi menahan sesuatu ya??” Tanyanya dengan
menyipitkan matanya dan benar-benar mencurigai kami.
Kami hanya tertawa. Hujan yang datang mengguyur membuat kaca di bus yang
kami tumpangi menguap. Kami bermain kaca dan menuliskan hal-hal lucu di kaca
bus yang berembun tadi. Suasana itu benar-benar suasana yang kurindukan. Tak disangka,
sudah 5 tahun silam suasana itu terjadi, tetapi masih saja kenangan itu melekat
erat di benakku. ^_^
Comments
Post a Comment