We Love Crain #Jilid 1
Menjadi mahasiswa memang sangat menyenangkan dan penuh kenangan. Banyak
orang yang ingin kembali ke masa dimana mereka bisa berkumpul bersama, hangout,
dan jalan-jalan bareng kemanapun tanpa beban ini itu, kecuali beban kuliah.
Sama sepertiku, yang teringat saat masih duduk di bangku kuliah yang penuh
dengan kenangan manis, asem, and
asin.#kayak permen
Entah kenapa, pikiranku selalu melayang-layang membayangkan masa-masa
kuliah yang lucu. Secara, aku berteman dengan beberapa mahasiswa yang gokil dan
narsis seperti kelompok Crain. Aneh memang namanya, ya seaneh orang-orang di
dalamnya, hehe..
Entah berapa jumlah anggota di dalam kelompok ini, yang jelas, bagi siapa
saja yang mau gokil bisa berkumpul dan hangout bareng di sini. Ibarat open
group dalam dunia facebook, kelompok ini terbuka bagi siapa saja, sampai aku
sendiri pun yang terkesan serius dan pendiam ikut terseret ke dalam kelompok
ini.
Awal aku bergabung dengan kelompok ini ketika aku diajak Angie untuk makan
bersama di Warung Inyong yang dekat dengan kampus ternama. Saat itu, Toni,
anggota Crain sedang berulang tahun dan mentraktir beberapa temannya. Sehabis
Isya, kami berkumpul di kost Umi dan melanjutkan perjalanan ketempat tujuan.
Aku yang sedang tak enak badan membonceng Angie yang berbadan seksi* mirip Ayu
Dewi.
*Fitnah ^_^
Sesampainya di tempat tujuan, kami makan malam bersama sembari menonton
tipi yang diputar lewat layar putih yang biasa disebut layar LCD. Setelah acara
makan selesai, kami pulang bersama. Ditengah jalan, motor yang dikendarai Angie
mati.
“Ris, bensinku habis, gimana nih?” Kata Angie kaget dan terlihat cemas.
Hari sudah larut malam, ditengah jalan motor mati.
Untung ada Putra yang masih memantau kami dari belakang. Putra yang
berbadan tinggi besar langsung mencari penjual bensin eceran dan membantu Angie
mengisikan bensin kedalam motornya.#Cie..ciee..
Setelah itu, kami pun mulai meluncur dan kembali ke tempat tinggal kami
masing-masing. Aku, yang memang satu kost dengan Angie mencari beberapa jalan
alternatif agar bisa cepat sampai tujuan.
Entah hal apa yang bisa mendorongku untuk selalu berkumpul dan bergabung
bersama kelompok ini, yang jelas setiap ujian semester tiba, beberapa anggota
Crain mencoba meminjam catatanku yang seperti cakar ayam untuk di fotokopi.
Terlebih Tri, sudah tahu tulisanku benar-benar seperti tulisan sansekerta,
tetap saja tak jenuh melihat dan meminjam catatanku. Mungkin karena banyak
teman tahu kalau aku adalah seorang yang rajin menulis.
Di pagi harinya, setelah ujian berakhir, teman-teman protes dan memasang
wajah pasrah. Kalau diibaratin sih kayak wajah orang-orang yang habis beli
tiket ke bioskop buat nonton film romantis, eh ternyata yang diputer film
horror, mana pemainnya tuh mukanya hancur semua gak ada yang cakep.
“Tri, itu tulisannya siapa yang dipinjem buat di fotokopi? Anak-anak pada gak
bisa baca. Kita ngarang bebas hari ini.” Kata Toni dengan wajah memelas.
Tri hanya tersenyum, sedikit takut sepertinya jika nantinya aku berubah
menjadi Singa ketika aku mendengar Tri menyebutkan namaku.
“Oh, itu tulisan tangannya Riska.” Jawab Angie membuka kedok.
Aku hanya bisa pura-pura tak mendengar dan menengok kanan kiri terkesan
cuek. Tunggu pembalasanku bloorroong,, batinku.
“Owalah, tulisannya Riska tho. Apes, aku ngarang indah tadi.” Kata Fathoni
menambahi.
Sepertinya hari ini banyak sekali yang menjadi korban buku catatanku.
Mereka yang dari kemarin berusaha keras mencari catetan yang akhirnya berujung
pada catatanku sepertinya mulai berfikir dua kali.
Tak berapa lama, liburan pun dimulai. Toni, Angie, Arimbi, dan Umi selaku
anggota tetap Crain memberikan informasi kepada teman lain kalau mereka ingin
mengadakan touring ke Ketep Pass. Bagi siapa saja yang mau ikut, silahkan
mencari pasangan dan berkumpul di depan kampus sebelum berangkat. Benar saja,
beberapa temanku datang dan berkumpul bersama di depan kampus pada pagi hari.
Saat itu, ada 5 motor dan 10 orang yang ikut. Aku berpasangan dengan Ninis,
teman sekelasku yang juga pendiam dan rajin.#rajin menggosip ^_^
Kami semua mulai berangkat bersama-sama dengan kecepatan rata-rata 80
Km/jam. Karena aku pernah ketempat itu dan mengerti sedikit tentang medan
disana, aku mengendarai motor dengan kecepatan yang melebihi batas. Ditengah
perjalanan aku ditegur. “Hei, Ris, kalo jalan jangan kenceng-kenceng dong,
kasihan yang dibelakang.” Kata Angie yang sepertinya ketakutan. Aku Cuma bisa
menggaruk-garuk kepala dan tersenyum.
Kami mulai lagi perjalanan kami menyusuri jalan yang mulai menanjak. Karena
menggunakan motor matic, aku tak perlu pusing-pusing mengganti gigi. Berbeda
dengan Afni yang baru belajar memakai motor. Dengan menggunakan gigi 3, dia
mulai kesulitan menaiki jalan.
“Hei, ganti ke gigi 2!” Teriak Angie yang terdengar kencang.
Afni kemudian memindahkan gigi motornya ke angka dua dan tersenyum polos.
Angie hanya melirik skeptis yang saat itu sedang membonceng Toni.
Sesampainya ditempat tujuan, kami terkagum bukan main dengan pemandangan
yang indah dan udara yang sejuk khas dataran tinggi.
“Ris, kamu tuh jilbaber tapi kalo naik motor kayak setan.” Ujar Angie yang
sepertinya masih trauma dengan kecepatan tinggi.
“Yang penting gak kayak iblis hehe..” Jawabku setengah bercanda.
Kami pun mulai berfoto-foto ria kesana kemari. Tak berapa lama, perut kami
keroncongan dan memutuskan untuk membeli makanan di warung makan yang ada di
kawasan wisata tersebut. Karena anggota utama Crain seperti Tri, Putra, dan
Fathoni tidak ikut, suasana jadi kurang terasa gokilnya.
Setelah kami menikmati indahnya pemandangan di Ketep, kami melanjutkan
untuk berpetualang menyusuri sungai yang berujung air terjun. Seperti biasa,
tak lupa kami mengambil foto bersama ratusan kali dengan backround air terjun
yang mulai berubah coklat seperti kopi susu. Kami pun memulai petualangan lagi
untuk mencoba memetik stroberi di kebun stroberi. Tak jauh dari Ketep. Dan
ternyata, semua kebun stroberi tutup. Sepertinya stroberi sedang tidak dipanen
saat itu. Kami pun memutuskan untuk kembali ke Jogja.
Belum puas touring ke Ketep, beberapa anggota Crain memutuskan untuk
mengadakan touring ke Dieng, tempat yang paling memorial buat anggota Crain.
Benar saja, aku dan seluruh anggota Crain kecuali Toni berlibur dan
menghabiskan waktu tiga hari di kota kampung halamanku.
Seperti biasa, kami berkumpul di kost Umi yang sedikit luas dan bebas untuk
berkumpul di pagi hari. Kami pun segera menancap gas, dan seperti biasa,
lagi-lagi aku khilaf saat mengendarai motor. Saat itu, satu-satunya laki-laki
yang ikut adalah Putra. Tri dan Fathoni menunggu kami di Wonosobo. Saat itu,
aku berboncengan dengan Sari, Angie dengan Prima, Afni dengan Nasti, dan Putra
dengan Umi dengan motor besarnya. Maklum, Putra memang pembasket berkulit putih
berambut jabrik dengan badan tinggi. Jadi tak heran ketika dia membawa motor
besar sebagai teman setianya.
Ditengah perjalanan, kami sempat berhenti sejenak untuk mengisi bensin dan
beristirahat. Semuanya terlihat pegal-pegal dan kecapean setelah satu jam
mengendarai motor.
“Kita baru setengah perjalanan tapi kok badannya udah remuk duluan ya?
Padahal biasanya Riska langsung ya gak pake istirahat kalo pulang.” Kata Umi
sambil menggoyang-goyangkan pinggulnya.
Aku hanya bisa tersenyum, saat itu aku sedang puasa nadzar. Jadi aku tak
ingin banyak tingkah, takut nantinya aku tak bisa menyelesaikan puasaku yang
tinggal setengah perjalanan ini.
“Nanti kita lewat Temanggung aja biar bisa mampir kebun teh yang ada di
pinggir jalan.” Kataku sedang berfikir medan mana yang harus dilewati.
“Kita sih manut aja, kan kamu pemandu dan tuan rumahnya.” Kata Angie sambil
meneguk minuman yang baru dibelinya dari supermarket dekat SPBU.
Hampir setengah jam berhenti, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan
kami. Lagi, aku khilaf dalam mengendarai motor sampai perkebunan teh.
“Hei Ris, kamu tuh, bisa gak sih ngre-sign gak mendadak? Kasihan yang
dibelakangmu. Udah ngebut, keblabasan pas belok gara-gara kamu re-sign
mendadak.” Kata Angie mulai menjelma seperti singa.#peace
Lagi-lagi aku hanya tersenyum. Kami semua berhenti di sebuah pos tua dekat
perkebunan teh sambil mengambil foto bersama-sama. Kami juga menunggu Tri,
Fathoni, dan Shanchai yang saat itu sedang berkumpul di rumah Shanchai.
Shanchai si gadis putih mirip Barbie Zhu memang sudah menjadi temanku sejak SMP
hingga kuliah.
Tak berapa lama, akhirnya mereka datang dan Shanchai mengajak kami untuk
berpetualang menyusuri jalan yang ada.
“Busyeeeett,, jalannya bagus banget, sampai-sampai motorku goyang-goyang
dan pantatku pegel.” Ujar Nasti sambil membenarkan kacamatanya.
Sepertinya jarak antara post dan tempat yang kami singgahi sekarang tak
terlalu jauh, Cuma karena jalannya yang tak rata penuh lubang dan batu-batu
membuat perjalanan kami terasa sangat lama. Kami pun tak lupa mengambil
beberapa pose dan foto untuk kami pamerkan nantinya.
“Yuk, kerumahku. Udah ditelpon ibuku nih. Kira-kira kita mau balik lewat
jalan tadi apa jalan yang lain?” Kataku yang masih mencoba menyisakan tenagaku
untuk melanjutkan puasa nadzarku.
Aku mencoba bernadzar selama satu minggu penuh karena aku mendapatkan IPK
diatas rata-rata. Waktu itu, aku sudah menghabiskan tiga hari untuk berpuasa,
tinggal empat hari lagi. Aku harap aku tak menghentikan puasaku saat itu.
“Hemmm kayaknya jalan disana rata deh. Coba aja yuk.” Kata Shanchai mantab
dan memastikan.
Kami pun memulai perjalanan yang sangat, sangat melelahkan diluar dugaan
kami. Jalannya lebih parah ditambah kami harus menuruni jalan penuh batu yang
tak tertata rapi. Motor matic-ku yang masih berusia satu tahun lebih mati
ditengah perjalanan. Untung saat itu medannya sedang menurun, aku pikir aku
kehabisan bensin, ternyata setelah aku coba starter, motorku langsung menyala.
Lega hatiku saat itu. Setelah melewati beberapa medan berat, akhirnya kami
sampai di jalan yang normal. Kami pun mampir di tempat Shancai sebentar. Tak
disangka, aku tak kuat untuk melanjutkan puasaku. Terpaksa aku batalkan puasaku
untuk beberapa hari kedepan karena sudah terlanjur.
Setelah rasa capek dan trauma kami sedikit menghilang, kami meneruskan
perjalanan kami ke tempat ku. Semua anggota Crain mengingap di rumah super
miniku. Angie, Umi, dan Arimbi menempati kamar kecil yang biasa dipakai kakak
keduaku. Nasti, Afni, dan Sari menempati kamar kakak pertamaku. Aku sendiri
mencoba berdesak-desakkan dengan adik perempuan dan ibuku di kamar beliau.
Sedangkan Tri, Putra, dan Fathoni memilih tidur di ruang keluarga di depan TV
kecilku. Ayah, dan kedua kakakku berkumpul di kamar yang biasa di huni adikku
saat itu.
To be continued....
Comments
Post a Comment