Lagi dan lagi...
Episode 5
Kuliah selesai, kerja pun mengantri. Pertama kali aku mencari kerja,
rasanya sangat sulit sekali. Aku mencoba menggandakan beberapa fotokopi ijazah
dan transkip yang kemudian aku sebar kemana-mana. Aku mengambil jurusan
pendidikan saat aku duduk di bangku kuliah, jadi sebagian besar lamaran kerjaku
aku sebar di instansi pendidikan. Karena tak ada panggilan satupun dari
instansi yang aku sebar, aku memutuskan untuk memasukkan lamaran ke perusahaan
marketing online yang sekali wawancara langsung paginya bisa bekerja.
Aku sempat sedikit lega ketika aku lulus kuliah, setidaknya aku tak akan
dijodoh-jodohkan lagi dengan seseorang yang kadang membuatku menahan tawa.
Ternyata tak begitu. Rekan-rekan kerjaku tahu kalau aku tak berpengalaman dalam
hal gebet-menggebet laki-laki, hangout malam ke tempat-tempat aneh, dan
sebagainya. Tak berapa lama, beberapa rekan kerjaku membujukku untuk hangout
bersama malam minggu di suatu tempat nongkrong sekalian mempelajari ilmu
menggebet cowok yang pelayan perempuannya hanya pakai kemben dan yang laki-laki
hanya pakai sarung, eh salah, maksudku pakai pakaian adat jawa yang tak berbaju
tapi masih bercelana.
Mereka menceritakan beberapa hal unik yang menurutku aneh disana, maklum,
mungkin aku terlalu lurus. Sebenarnya, karena kelurusanku, banyak teman-temanku
yang kadang membujukku untuk sedikit keriting, maksudku sedikit berbelok. Ada
yang selalu membujukku untuk mencoba menonton sesuatu yang semi-semi, aku tolak
mentah-mentah. Ada juga yang membujukku untuk menjadi selingkuhannya, maaf,
saya masih dibawah umur. Tak hanya itu, kadang teman-temanku menyuruhku untuk
sedikit merubah penampilanku agar sedikit lebih seksi, maaf badanku kayak
triplek, jadi gak mungkin seksi.
Yah, seperti itulah kehidupan. Kita tak selamanya akan tenggelam dalam
kehidupan yang lingkungannya lurus dan aman, terkadang kita juga harus
menceburkan diri ke dalam lingkungan yang penuh dengan kebebasan. Sebijak dan
sepandai kita saja dalam bertindak dan menolak. Menurutku, ketika kita punya
prinsip, peganglah prinsip itu kuat-kuat, karena prinsip kita yang akan membawa
kita ke masa depan kita yang akan kita jalani sendiri.
Karena tak kuat dengan beberapa bujukan, dan kebetulan ada panggilan
mengajar untukku, aku mulai mengundurkan diri menjadi karyawan freelance. Tak
berapa lama, aku pun benar-benar mundur karena ada tanggungan translete
desertasi yang topiknya tentang politik Islam di Malaysia yang membuat otakku
semakin keriting. Karena tugas translation yang sangat berat, aku putuskan
untuk mundur mengajar dan memilih belajar lagi di kota sayur, Pare. Aku mengambil
beberapa program translation yang hasilnya buruk dan program speaking yang
memang sudah bidangku. Jadi tak heran ketika aku mendapatkan hasil speaking
yang lebih bagus dari hasil translation yang amburadul.
Tak berapa lama, aku diangkat menjadi tutor asrama untuk mengajar
speaking bagi pemula. Aku pun menyetujui
dan aku relakan untuk melepaskan beasiswa training menjadi pengajar di suatu
lembaga disana. Sempat aku bertemu seseorang yang bisa membaca karakterku
dengan indra keenamnya, sedikit kaget, Cuma percaya tak percaya, ya memang itu
karakterku.
“Kamu dekat sama alam ghoib ya?” Tanya Ardi dengan mata tajam dan serius.
“Hwaaa enggak ya, aku gak punya temen ghoib.” Jawabku kaget.
“Maksudku kamu bisa merasakan yang ghoib-ghoib.” Wajahnya mulai sinis dan
skeptis.
“Oh itu tho, gak tahu hehe... tapi aku sering mengalami hal ghoib kayak
melihat cong-cong, mendengar suara mbak kunti, dan lainnya hehe..” Jawabku
sambil mikir dan senyum-senyum.
“Nah itu, maksudku, indra keenammu termasuk aktif.” Katanya memastikan
dengan tatapan mata yang masih tajam.
Aku hanya bisa menahan tertawa dan sedikit geli, percaya gak percaya sih,
yang penting kita hanya berlindung sama Sang Maha Kuasa.
Tak berapa lama, aku tak enak makan selama satu minggu. Setiap habis makan,
jantungku terasa bedebar dan perutku rasanya mual. Entah apa yang terjadi,
tubuhku terasa lemas tak berdaya. Aku pun menceritakan kejadian bertemu Ardi
kepada mbak Venti, seorang perempuan dewasa yang berpipi chubby dan satu asrama denganku.
“Ohhh aku tahu sekarang kenapa kamu bisa sakit kayak gitu. Itu karena kamu
salah makan di tempat yang ada penglarisnya, dan karena indera keenammu kuat,
makanya dia nolak.” Katanya serius dan sepertinya tahu banyak tentang cerita
mistis.
Aku memang dari kecil lebih senang dengan cerita mistis dari pada cerita
seorang putri raja yang akhirnya menemukan pangeran. Aku juga lebih senang
menonton film Suzanna dan Kismis dari pada menonton film ABG yang isinya
cinta-cintaan. Tak hanya itu, dari kecil aku senang sekali menonton tarian adat
yang ujung-ujungnya si penari kesurupan, wah asyik banget rasanya kalau sampai
ada yang kesurupan, dan itulah yang aku tunggu-tunggu. Untungnya, seumur hidup,
aku tak pernah mengalami kesurupan hehe.. Tapi untuk soal yang mistis-mistis,
aku tak pernah mengorek-ngorek dan acuh.
“Iya pho??” Kataku dengan bibir manyun yang seolah tak percaya.
“Iya, soalnya penyakitmu tuh aneh, kamu pasti salah makan. Kamu pernah
ngalamin hal mistis disini?” Tanya mbak Venti penasaran.
“Aku Cuma ngrasa kemarin pas tidur kayak ada yang lompat di atas perutku
dan aku gak bisa nafas.” Kataku singkat. Menurutku hal itu tak perlu membuatku
risau, yang penting yang tak nampak itu tak pernah menampakkan diri lagi.
Tak berapa lama, aku ditawari untuk mengajar dan menjadi tutor di lembaga
lain sebelum aku pulang. Sempat ada kekecewaan pastinya, tapi hidup itu memang
pilihan. Allah sudah mengatur semuanya sedemikian rupa sehingga semua yang aku
alami terasa seperti keajaiban.#horror apa lebay ini?
Lagi, aku harus menginap dan mendiami kamar yang didalamnya ada jin yang
sedang mencari tuannya. Yang benar saja, sekalinya masuk, tenagaku habis,
berdiri serasa melayang. Aku hanya bisa berdzikir dan melantunkan ayat-ayat
suci yang aku hafal. Tak berapa lama, beberapa jin itu mencoba bermain-main
denganku. Mungkin karena salahku juga ketika aku lupa mengucap salam pas aku
keluar kamar, alhasil lampu langsung mati di kegelapan malam sedangkan yang
lainnya sedang berkumpul di aula. Seketika aku langsung berlari dengan kaki
yang mulai melemas.
Karena rasa takutku masih tinggi pada saat itu, aku memilih untuk tidur
dikamar murid-murid yang aku ajar, disana lebih aman dan lebih banyak orang. Dan
lagi, beberapa orang mulai menjodoh-jodohkanku.
“Mbak, njenengan udah punya calon belum? Mau tak kenalin sama seseorang?
Sudah mapan, kaya dan tinggal mencari istri.” Tanya miss Masya, tutor seniorku.
“Oh maaf, saya belum siap nikah, masih takut.” Jawabku sambil
senyum-senyum.
Ketakutanku kepada seorang laki-laki memang masih menyelimutiku, jangankan
salaman, disentuh pun kadang aku masih takut dan aku tak bisa membayangkan
untuk menikah secepat itu. Dan lagi-lagi aku menolak. Entah ini rencana Allah
ataukah memang pilihan hidupku, yang jelas, aku masih mencoba memperbaiki
diriku agar aku bisa mendapatkan yang terbaik untukku dan untuk anak-anakku
kelak.
Dua minggu berlangsung dan masa mengajarku habis, aku ditawari untuk
mengajar di sebuah pondok pesantren yang ada di Yogyakarta, lagi-lagi tak bisa
lepas dari kota kenangan ini. Akupun menyetujuinya dengan jalur yang tak
semestinya. Seharusnya aku diwawancarai agar sesuai prosedur, tetapi karena aku
dibujuk oleh seseorang yang bekerja disana, akupun hanya mengumpulkan beberapa
syarat tanpa wawancara. Ditengah perjalanan, aku menemui beberapa masalah yang harus aku selesaikan. Masalahku sangat rumit dan ini menentukan masa depanku. Akhirnya aku ambil langkah yang aku rasa tepat, mengundurkan diri dan menyelesaikan masalah pribadiku. Tak berapa lama, aku mulai berpetualang kembali memulai hidup baruku.
Benar saja, aku mulai bekerja sebagai staff IT di suatu universitas swasta
ternama di Yogyakarta dan aku adalah satu-satunya staff perempuan yang ada
disana. Beberapa hari mulai bekerja, aku sudah dijodoh-jodohkan dengan A, B,
dan C.
“Ada yang mau nyari istri nih, tapi dia maunya pacaran dulu. Kamu mau gak Ris?”
Tanya Ahmad yang tak pernah berhenti membujukku untuk berpacaran.
“Aku gak mau pacaran.” Jawabku datar.
“Pacaran serius, dia nanti bilang ke orang tuamu, trus dilamar.” Jelasnya
ngeyel.
“Apapun alasannya dan apapun namanya, aku gak mau carapan, eh maksudku
pacaran.” Jawabku tak kalah ngeyel
“Kan nantinya kalian bakalan nikah juga? Ya gak ada salahnya dong pacaran,
lagian intinya kan serius.” Ahmad masih ngotot.
“Pokoke yak, enyong ora gelem pacaran.” Wah ketahuan kedoknya nih, “Pokoknya,
aku gak mau pacaran. Titik gak pake koma, mau alasannya nanti nikah lah,
apalah, enggak mau.” Aku tak kalah ngotot.
“Ya udah deh, terserah kamu.” Jawabnya singkat dengan wajah yang sedikit
ditekuk.
Aku hanya bisa diam dan mengacuhkannya, aku sedang tak ingin membahas
masalah itu. Lagian ini hidupku, Allah pasti udah nyiapin yang terbaik buat
aku, hanya aku memang harus lebih bersabar dan mencoba menghindari sesuatu yang
memang bukan jalan-Nya. Aku percaya dengan rencana-Nya.
To be continued....
Comments
Post a Comment