Kampung Sejuta Umat

Pagi ini ku kayuh pedal sepeda sekencang mungkin, ku lewati hamparan sawah melintang disamping jalan, ku hembus udara pagi hari dengan penuh semangat bersama teman seperjuanganku disini, dikampung seribu satu umat ini, kampung yang luas dan penuh dengan berbagai macam suku, tapi hanya ada satu bahasa kesatuan, Bahasa Inggris.

Ini adalah hari pertamaku memulai program Bahasa Inggris dibidang Speaking. Sempat ragu rasanya. Takut – takut kalau tak ada orang ditempat itu, mungkin hanya akan ada aku dan teman seperjuanganku, Tika.


Sampai ditempat itu, terpajang banner besar panjang berwarna hijau dan kuning bertuliskan ‘Ocean English Course & Camp’ tergantung didepan bangunan kecil mirip rumah adat jawa yang sudah agak modern dengan lantai keramik. Aku parkir sepeda ontelku dibawah pohon mangga yang rindang sebelah bangku panjang didepan bangunan itu yang berhalaman cukup luas. Uupsss ternyata tak hanya ada aku dan Tika, tapi setidaknya ada sepuluh orang disini, mereka sudah menunggu mungkin cukup lama. Mereka duduk melingkar dihalaman diatas kursi plastik berwarna hijau. Huft…. cukup lega, paling tidak, ada segelintir orang yang berminat mencari ilmu disini selain aku dan Tika. 

“Morning everybody! How are you today?” Sapa seseorang yang sudah berkepala dua dengan kacamata dan rambut ikal berjaket hijau dan memakai tas kecil mirip tas Ariel, vokalis Group Band Peter Pan. hemmm tapi wajahnya mirip Pongky, vokalis Group Band Jikustik, tapi orang ini lebih pendek, menurutku. “Mooorniiing!! I am fine!!” Jawab semua orang yang duduk dikursi plastik hijau, termasuk aku dan Tika.
 Kegiatan pertama ini adalah perkenalan. Perorang maju ditengah lingkaran dan memperkenalkan diri mereka masing - masing, termasuk aku. “Nama saya Elli, saya dari Jepara, dan saya baru lulus SMA” Sapa Elli yang saat itu memakai sweater ungu dengan jilbab hitam. Anak yang masih belia, hitam manis dan agak kurus ini memperkenalkan dirinya dengan malu-malu. “Nama saya Laela, saya dari Bojonegoro, saya baru naik kelas 3 SMK”. Oh my God! baru naik kelas tiga SMK?! pantesan masih kelihatan lugu dan masih kekanak-anakan dengan jilbab belang – belang, batinku sambil sesekali melihat dan mengamati semua orang baru disini. “Hello, I’m Ajir, I come from Lombok and I have graduated from senior high school” Dengan percaya diri laki – laki hitam manis berkacamata ini memperkenalkan diri dengan memakai bahasa inggris. Haduh, ternyata aku dan Tika yang paling tua disini, ya iyalah, secara aku masuk di kelas Speaking tingkat 1, tingkat dasar. padahal aku sekarang berada di awal semester tiga jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, seharusnya aku sudah masuk ketingkat dua atau tiga, tapi karena harus mengikuti syarat dari lembaga, aku terpaksa mulai dari tingkat dasar ini. dan sekarang saatnya giliranku memperkenalkan diri didepan semuanya. “Assalamu’alaikum, my name is Renata, I come from Jogjakarta” singkat dan padat sapa dariku yang kemudian langsung duduk kembali ke bangku plastik yang berwarna hijau itu. aku masih mengamati mereka satu persatu. Oh boy, masak aku harus belajar bersama dengan adik – adik ini. Batinku yang waktu itu masih terasa asing berada di kota orang. Tapi, tidak tidak, ada satu orang yang membuatku kaget. “Assalamu’alaikum, saya Danang, saya dari Solo dan saya kuliah di Lipia Jakarta semester dua” Sapa darinya dengan tatapan acuh dan dingin. Sekilas sih wajahnya mirip artis, kulitnya putih bersih dan berbadan ideal. Dia semester dua? berarti sekarang dia sudah masuk awal semester tiga, sama seperti aku. huft… lega. berarti paling tidak aku dan Tika tak sendirian menjadi kakak – kakak mereka disini, dikelas ini. 

“Okay, sekarang kalian sudah mengenal satu sama lain, kalian bisa saling berbincang – bincang nanti. Disini kita punya tiga pertemuan dalam sehari. Jam enam sampai jam tujuh pagi untuk study club, jam sepuluh sampai jam setengah dua belas, dan jam setengah empat sampai jam lima sore untuk kalian yang mengikuti kelas speaking. Khusus untuk hari sabtu dan minggu libur” Jelas Gio, seseorang yang mirip Pongki itu.

##########

Sudah jam sepuluh kurang, ini saatnya berangkat untuk memulai kelas speaking diawal. aku dan Tika mulai mengayuh sepeda ontel tua yang aku sewa selama satu bulan. Seperti biasa, kami harus melewati pematang sawah yang sangat luas dan menyejukkan mata itu. Butuh waktu sekitar lima sampai sepuluh menit untuk sampai ditempat tujuan. Sesampainya ditempat belajar, kami duduk di sudut ruangan dan hanya saling berpandangan satu sama lain, kelihatan asing. Ada lebih dari sepuluh orang disini, lebih banyak dari tadi pagi. Dan kali ini bukan laki – laki ikal itu lagi yang muncul untuk mengajar kami, justru perempuan cantik berkacamata dan lembut yang akan mengajar kami. “Hello! My name is Agustin, you can call me Miss Agustin. I not only teach you here, but also I teach others in other institutes”. Sapa darinya dengan senyum ramah dan keibuan. Dia benar – benar keren, bahasa inggrisnya cas cis cus. dia juga mengajar di beberapa lembaga bahasa inggris di kota ini. Dengan balutan jilbab ungu dan kaos putih bercelana jeans, beliaupun mulai memberi materi sedikit demi sedikit.

Sore harinya aku dan Tika berangkat speaking sesi kedua dalam satu hari ini, lelah kurasa, dan semakin asing kukira. semakin banyak orang ternyata yang ikut kelas ini, tak hanya adik – adik, tapi banyak juga yang sebaya denganku bahkan ada yang lebih tua. Ada segi positifnya juga disini. Tapi aku merasa benar – benar belum bisa menyesuaikan diriku disini, di tempat ini, dan dikota ini. Lain halnya dengan Tika, dia supel, pandai bergaul dan lucu, menurutku banyak laki – laki yang tergila – gila dengannya, dia cantik dan murah senyum. Wajahnya yang oriental mirip Barbie Shu dan kulitnya yang putih serta badannya yang langsing menjadikan nilai plus buat dia, apalagi caranya berjilbab yang tak kalah mode, membuatnya sempurna ketika dipandang mata. Berbeda denganku, masih kental dengan perasaan dingin dan rasa cuek yang melekat didiriku, sedikit senyum dan tak banyak bicara dengan modal wajah yang biasa – biasa saja dan jilbab dan pakaian yang tak begitu bergaya dan masih terasa manja. Tapi mereka belum tahu bagaimana aku sebenarnya.

Sore hari ini yang mengisi bukan seseorang yang mirip Pongky lagi, bukan juga Miss Agustin, tapi Mr. Oyi. Dia laki – laki berumur hampir tiga puluhan atau bahkan sudah mencapai tiga puluhan yang mempunyai rasa humor tinggi dan berkacamata pula seperti tutor yang lain, pakaiannya rapi. Berkemeja batik dan bercelana kain. Sekilas kalau aku lihat wajahnya mirip Andika, keyboardistnya Peterpan yang kemudian pindah menjadi keyboardistnya The Titan. Gayanya gokil dan penuh dengan tawa. Tak pernah ada rasa bosan ketika beliau mengajar. “Give me five” ucap Mr. Oyi sambil mengangkat tangan seperti tanda memberikan ‘tos’ Sebagian orang sempat bingung, “Beri aku tos” Jelas Oyi dengan mimik wajah lumayan lucu, dan lebih lucu lagi ketika beliau bilang give me twenty sambil melompat dan memajukan kedua tangan dan kakinya. Ruangan yang tadinya tegang dan kaku oleh wajah – wajah baru, menjadi cair seketika ketika beliau mulai memberikan materi – materi dengan penuh canda tawa. hemmmm setidaknya mulai ada chemistry diruangan ini.

#########

Sehari dua hari aku lalui hari – hariku dengan mengayuh sepeda dipagi hari untuk mengikuti study club jam 6 pagi bersama Tika dan teman – teman baruku di lembaga ini, dan siapa lagi tutornya kalau bukan Mr. Gio, laki – laki yang mirip Pongki Jikustik yang beratmosfer sejuk karena selalu diisi dengan jalan – jalan pagi berpasang – pasangan setiap hari jum’at. Jam sepuluhnya aku mulai kelas speaking Miss Agustin yang terkesan beratmosfer sangat tenang dan kalem karena situasi belajar yang diajarkan oleh seorang perempuan yang lembut dan keibuan dan sorenya aku mengikuti kelas speaking Mr. Oyi yang beratmosfer amburadul, mengingat tutornya sendiri yang sangat kocak dan menghibur.

Dihari kelima, tepatnya hari Jum’at study club diisi dengan acara jalan – jalan bareng in pair atau berpasang – pasangan. Pasangan pertamaku adalah Moza, kita ngobrol banyak tapi pakai bahasa inggris, mulai dari perbincangan artis idola sampai hal – hal yang paling disukai dan dibenci. Kita jadi saling tahu dan memahami satu sama lain. Aku, yang tadinya sedikit tertutup, sekarang sedikit demi sedikit mulai terbuka. Ternyata Moza adalah orang yang sangat sensitive, dia pecinta pramuka dan dia sekarang semester lima, satu tahun lebih tua dariku. Laki – laki yang berbadan agak besar dan modis ini berasal dari pare – pare, Sulawesi, kata teman lain sih dia agak melambai, tapi tak begitu menurutku. Dia adalah seorang yang lucu dan menyenangkan. Rambutnya yang berponi dan wajahnya yang khas orang Sumatra membuatku tak sependapat dengan sebagian teman yang mengatakan bahwa dia agak feminin.

Akhirnya, sampai juga ditempat tujuan kita, Masjid Agung An-Nur, Pare, Kediri. “Come on, we are going to make a big circle!” Seru Gio ditengah – tengah kerumunan anak – anak lain yang masih asyik bertanya jawab ria. Kami semua berbaris membentuk lingkaran besar. Dan setelah itu, gio menawarkan permainan lempar boneka. Bagi siapa yang tak bisa menangkap boneka, maka akan ada hukumannya. Permainan yang cukup menyenangkan. 

Hampir dua jam sudah aku dan yang lain berada di halaman masjid yang elok dan luas itu. Saatnya untuk pulang. Tapi tak lupa sebelum pulang kami ambil beberapa pose untuk berfoto-foto ria. Kami pulang dengan bebas, tanpa pasangan dan tanpa bahasa inggris. Aku pulang bersama Tika. Huft… untung ada Tika disini yang selalu menemaniku dan selalu menghiburku. Setidaknya aku jadi tak merasa sendirian dan kesepian karena sifatku yang kurang bisa bergaul dan sulit menerima orang asing untuk jadi temanku.

Ini saatnya ujian akhir minggu pertama untuk kelas speaking Miss Agustin dan Mr. Oyi. Di lembaga ini selalu diadakan tes akhir minggu pada hari Jum’at, semua ilmu, kosakata dan ekspresi – ekspresi yang sudah diajarkan diulang dan diuji kembali di hari ini. Dikelas Miss Agustin semua anak disuruh keluar, dan hanya ada lima orang yang sudah siap yang boleh masuk ruangan untuk diuji. Dan salah satunya adalah aku. Lumayan menegangkan, karena ujiannya ternyata oral test atau tes lisan yang membuatku kadang merasa speechless, takut salah. Sore harinya aku mengikuti ujian akhir pekan Mr. Oyi. Dengan system yang hampir sama dengan yang dilakukan Miss Agustin, semua harus keluar, kecuali sebagian yang boleh masuk dan ujiannya juga oral test. Dengan tenang aku menjawab semua pertanyaan yang dilemparkan Mr. Oyi padaku. Tak ada yang salah dari jawabanku, tapi, upssss “anak keberapa kamu di dalam keluargamu?” Tanya Mr. Oyi dan aku harus mengartikannya dalam bahasa Inggris. “which child you are in your family?” jawabku dengan sedikit ragu – ragu. Mr. Oyi hanya memandangku, begitu pula yang lain. “anak keberapa kamu didalam keluargamu?” Tanya Mr. Oyi sekali lagi kepadaku. Akupun menjawab dengan jawaban yang sama. “ini pertama kalinya anda salah” Katanya sambil tersenyum tipis. OMG, perasaan aku menjawab dengan benar. Batinku agak berontak. Ternyata setelah aku keluar dari ruangan itu, aku memang salah, grammarku kacau dan semuanya berantakan. Diluar ruangan aku hanya duduk menyendiri dibawah pohon mangga rindang itu. Tiba – tiba mendekatlah Laela disampingku dan bertanya “Mbak, bagaimana caranya biar kita bisa menghafal kosa kata dan ekspresi – ekspresi yang sebanyak ini?”. Aku hanya diam dan tersenyum. “Aku menyalin ulang semua pelajaran yang udah diajarkan tutor – tutor itu. Sambil menyalin aku juga menghafal, jadi ada nilai plusnya disitu” Jawabku singkat. Laela masih terdiam, dan kemudian duduklah seorang laki – laki berkacamata disampingku dengan menyahut “Kita tuh jangan pernah merasa letih untuk belajar, sebenarnya semua orang itu bisa menghafal, tergantung seberapa besar semangat belajarnya untuk menghafal, kan semua itu juga udah tertulis dalam Kitab Suci-Nya.” “Lagian kalau kita udah berusaha, pasti paling tidak ada sesuatu kemajuan dan perubahan” Sambung Adipta, laki – laki berkacamata itu dengan kata bijak dan penuh kedewasaan. Kacamatanya yang berkilauan terkena cahaya matahari di sore hari dan wajahnya yang tenang membuatnya terlihat sangat dewasa.

##########

Satu minggu sudah aku berada disini, dikampung bahasa ini, kampung sejuta umat. Disini aku mulai merasakan ada chemistry tersendiri. Ya sebagian sudah aku kenal dan sebagian lagi belum, aku tak tahu apakah nanti aku bisa mengenal semuanya atau hanya sebagian teman saja yang aku kenal. 

Dikelas, selain Tika, aku mengenal salah satu santriwati yang ternyata umurnya tiga tahun lebih muda dari aku. Namanya Iim, aku kira dia adalah sesosok perempuan lugu yang sangat lemah lembut, ternyata dia adalah perempuan tomboy yang kocak dan rame, dia sering bermain ke kostku dan Tika, dia juga teman yang selalu setia mencicipi masakanku dan Tika, dia selalu tertidur ketika merebahkan badannya dikasur dan disaat sedang menunggu Tika dan aku memasak. Dia tertidur dengan mata yang terbuka sedikit, kadang sering aku usilin dengan mengambil fotonya saat tertidur, ya… walaupun akhirnya dia selalu tahu dan menghapus foto-fotonya itu. Di akhir minggu pertama kami juga menyempatkan diri pergi ke kolam renang bersama, dengan mengayuh sepeda dengan jarak hampir 5 kilometer kami datang hanya untuk mencoba merasakan sejuk dan dinginnya air kolam ditempat ini. Tak hanya itu, setiap minggu kami juga selalu menyempatkan waktu pagi hari kami untuk jalan – jalan dan beli jajan di pasar yang kira – kira berjarak dua kilometer dari tempat kami dengan mengendarai sepeda ontel.

Senangnya punya teman baru disini, ya walaupun masih satu, tapi aku bersyukur. Hari ini mungkin satu teman, tapi tak menutup kemungkinan untuk hari esok aku bisa menambah lima teman sekaligus kan.

Dan mungkin memang benar, tak berapa lama kemudian aku mengenal seorang laki – laki yang bernama Ahmad, tapi dia biasa dipanggi Jack. Hah.. jauh banget. Dia teman Moza, dari Parepare juga. Badannya juga tinggi besar sama seperti Moza dan perwajah khas orang Sulawesi. Dia selalu mengajakku berbincang – bincang, sampai – sampai ketika dia mau memutuskan untuk membeli notebook baru di Jogja, dia hampir mengajakku. Caranya berbiara padaku terlalu dekat dan aku kurang suka, mengingat aku memang tak biasa dekat dan sangat dekat dengan laki – laki sebelumnya. Tapi lama – lama aku agak menjaga jarak dengannya agar tak lebih dekat.

Tak berapa lama juga aku juga kenal hampir semua anak di lembaga itu, termasuk Elly, gadis belia yang terlihat malu – malu saat perkenalan awal. Yah aku dan Elly sebenarnya sudah kenal sebelum masuk ke lembaga ini. Dia teman dari seniorku di kampus, dan sebelum masuk di lembaga ini aku sempat berkenal dan bersapa sebentar dengannya.
##########
Hari ini, hari jum’at minggu kedua. Agenda untuk study club hari ini jalan – jalan menuju lapangan sepak bola, dan pasanganku sekarang bukan lagi Moza, tetapi Adipta, laki – laki berkacamata yang sempat duduk disampingku saat itu. Dia kuliah di ITB jurusan Akuntasi semester tiga juga. Dan seperti biasa, bicara panjang lebar tentang sesuatu dengan menggunakan bahasa Inggris. Aku cerita banyak padanya tentang organisasiku di kampus dan dia juga cerita tentang kegiatan dia dikampus. Dia seorang laki – laki yang dewasa dan mandiri. Badannya tinggi dan ideal, sekilas kalau aku lihat sih mirip seniorku di kampus yang banyak ditaksir perempuan.

“Oh ya, Ocean learning course will hold the new class, that is pronunciation class. It will be held next week. We can follow it two weeks or a month. If you want to follow it, you can call me, I will teach you there.” Seru Gio sambil berjalan mendampingi dan mengawasi kami. Sempat terbesit dipikiranku untuk mengikuti kelas itu. Tapi, ah nanti saja biar aku Tanya Tika. Batinku.

Sesampai dilapangan, Gio menyuruh kami untuk membuat kelompok yang tiap kelompok terdiri dari enam sampai tujuh orang. Tiap kelompok harus membuat yel – yel berbahasa Inggris yang kemudian harus ditampilkan didepan dengan gaya dan suara yang nyaring dan keras. Kelompokku terdiri dari enam orang, ada Buchori yang berbadan tinggi dan baru lulus SMA, dan masih terlihat lugu, Muiz yang terkesan pendiam dengan rambut ikal dan kacamata minusnya, Mb. Echa yang terlihat dewasa dengan kacamatanya, Bening yang terlihat sangat pendiam, aku dan Iim yang terkesan Tomboy dan gila – gilaan dengan suara yang agak nge-bass dan keras. Kami semua menampilkan yel – yel terbaik dari masing – masing kelompok kami. “Yok, kita bikin yel-yel yang gokil dan dengan gaya yang gokil, okeee!!!” Seru Iim dengan penuh semangat, yang lain hanya bisa mengangguk.

Tak terasa waktu berlalu begitu cepat, sekarang sudah hampir jam Sembilan. Kami semua harus pulang untuk menyiapkan ujian akhir mingguan kelas speaking Miss Agustin dan juga Mr. Oyi. Aku pulang bersama Iim dan Tika. Tapi, Oou… ada seorang laki – laki yang mencoba mendekati Tika, Tyo namanya, seorang laki – laki yang sulit tersenyum dan bersuara pelan. Hemm… mereka jalan dan ngobrol berdua selama perjalanan pulang. Teringat aku akan pikiranku tadi tentang kegiatan kelas baru, kelas pronunciation. Segera aku menghamipri Tika dan menawarkan kelas bareng. Dan ternyata dengan senang hati Tika mau mengikuti kelas baru itu bersamaku. Sesampainya dikost, Tika cerita banyak tentang Tyo, “Eh tahu g? Ternyata Tyo tuh juga kuliah di Jogja lho, dia kuliah di UMY. Aslinya sih Solo, blablabla” Celoteh Tika tanpa henti. Aku hanya mengangguk – angguk sambil mencoba menghafal common exspression yang akan aku pakai nanti saat mengikuti ujian kelas Miss Agustin dan Mr. Oyi. Enak ya jadi orang yang cantik dan mudah begaul, sebentar sebentar bisa langsung dapat teman. Lha aku? Kapan? Ah, Apa aku terlalu serius?. Batinku.

Siang harinya aku berangkat dan mempersiapkan semua materi yang akan diujikan, tetapi, Oow,,, bukan tes lisan ataupun tulisan, tapi listening. Waduh, kami semua harus memperbaiki telinga kami sebelum ujian dimulai.

Ketika semua sudah siap dengan alat tulis masing – masing, ternyata kami hanya disuruh mendengarkan lagu dan mengisi kolom – kolom yang kosong diatas kertas yang telah dibagikan Miss Agustin kepada kami. “I’ll repeat it three times and you must pay attention in listening to the song, the title is Tomorrow Never Comes that is delivered by Ronan Keating.” Jelas Miss Agustin sebelum ujian dimulai. Kami semua sangat serius mendengarkan lagu itu. Dan setelah ujian usai, semua jawaban pun dicocokkan. Setelah semua jawaban dicocokkan, Miss Agustin menyuruh kami semua untuk bernyanyi bersama. Kami menyanyi bersama dengan sangat riang gembira. Kami pun pulang dengan masih terdengar alunan – alunan lagu tersebut dalam benak dan pikiran kami masing – masing.

Sore harinya, ujian kelas speaking Mr. Oyi. Aku kira ujiannya akan membahas soal kosakata seperti minggu lalu, ternyata listening juga. Kali ini kami mendengarkan lagu My Heart Will Go On yang terkenal dengan lagunya Film Titanic. Sama seperti Miss Agustin, kami mengisi kolom – kolom lirik lagu yang kosong dan menyanyikannya diakhir ujian. Hemmm hari ini penuh dengan nyanyian. 

##########

Dua minggu lebih aku disini, tak sendiri pastinya. Semakin banyak teman yang sudah aku kenal dan semakin banyak ilmu pula yang sudah aku dapat. Hampir semua temanku juga sudah tahu bagaimana aku sebenarnya. Tak hanya teman saja, mungkin tutor yang lain seperti Mr. Oyi mulai memahami bagaimana aku. Aku yang sudah mulai terlihat kekanak – kanakan dan manja. “Hey, you are like a child” Sahut Jack saat melihat aku berlari keluar ketika kelas usai. Aku hanya bisa menggaruk – garuk kepalaku. 

Ditengah jam kelas speaking Miss Agustin berlangsung, Jack menyolekku dengan sebuah pensil dan bertanya “Do you know how many siblings does Marzah have?” Seketika aku langsung melihat Marzah, laki-laki berbadan kecil mirip Mita The Virgin dengan rambut ikal dan syal yang melingkar dilehernya duduk di depanku berjarak satu meter. Seingatku, dulu Marzah pernah bilang kepada semua orang kalau dia mempunyai sebelas saudara. “He has eleven siblings” Jawabku singkat. “I don’t believe that” Sambung Jack dengan wajah penuh ketidakpercayaan. Dan kemudian aku bertanya langsung kepada Marzah, Marzah pun menegaskan dan meng-iya-kan, seketika itu Jack langsung memalingkan muka dan mulai serius mengikuti kelas. Huft,,, apa maksudnya dia Tanya hal seperti itu. Entahlah. 

Di minggu ini aku juga sudah memulai kelas baru, kelas pronunciation. Kelas ini berlangsung jam 11, setelah kelas speaking Miss Agustin selesai. Dikelas ini setidaknya ada kurang dari sepuluh orang diawal pertemuan. Ada beberapa wajah baru disini. Dua orang kembar dan dua laki – laki asing. Sinta dan Santi nama gadis kembar itu. Aan dan Abror nama kedua laki – laki itu. 

Dikelas ini kami diajar Gio cara membaca broad translation dari kamus oxford. Gio mengajari kami pelan – pelan dan kami harus menirukan cara Gio mengucapkan kata yang ada didalam kamus. Kami juga dikenalkan dengan symbol – symbol yang ada pada kamus tersebut. 

Sorenya aku masuk kelas speaking Mr. Oyi dengan terburu – buru, dan tanpa sadar kaos kaki yang biasa dipakai Tika tidur terbawa dan nyangkut di tas ku. “Re, haduh kaos kakiku kenapa nyangkut ditasmu tho?” Sahut Tika yang langsung mengambil dan mengumpatkan kaos kainya kedalam tasnya. Dengan wajah tanpa dosa aku hanya menjawab “He..he.. iya pho, aku bawa kaos kakimu, kayanya enggak deh.” Seketika Tika langsung menghela nafas. “Untung aku langsung lihat, coba kalo enggak dan jatuh di tengah anak – anak, aku gak mau ngakuin kalo itu kaos kakiku, aku mau bilang aja kalo itu kaos kakimu, ha…ha… “ Sambung Tika dengan wajah tanpa dosa juga, aku juga hanya bisa menghela nafas.

Sempat juga ketika Mr.Oyi mengajar sambil batuk, dan aku menirukan batuknya beliau, beliau hanya melirikku dan aku hanya meringis sampai akhirnya Mr. Oyi membuat kalimat “Renata is wet on the bed” yang artinya “Renata ngompol dikasur” Semua teman – temanku tertawa dan aku hanya bisa menggaruk – garuk kepala.

Sesampainya di kost, kami memasak mi rebus untuk makan malam kami, dan tiba – tiba ibu kost datang sembari menawarkan sayur nangka yang ada di dapur. “Sepertinya ini sayur udah lama dan basi deh, aku nglihat sayur ini udah tiga hari yang lalu Re.” Bisik Tika saat ibu kost mulai keluar dari dapur. “Trus gimana dong, masak mau kita maem sih sayurnya, ih ogah ah” Balasku dengan suara berbisik. “emmmm… kita pikirkan besok” Sambung Tika yang sudah selesai menyiapkan mi rebusnya. 

##########

Pagi harinya, seperti biasa aku bangun jam dua dini hari dan langsung mandi, mengingat hanya ada satu kamar mandi untuk dua belas penghuni, jadi aku selalu memutuskan untuk mandi paling awal. Sang fajar mulai menyingsing dan sang surya mulai menampakkan sinarnya.

“Gimana Tika? Itu sayurnya mau diapain?” Tanyaku saat mau berangkat study club. “Nanti aja Re” Jawab Tika singkat. 

Siang harinya, aku mengajak Tika pergi ke warnet untuk melihat informasi akademikku. “Ayo Re kita bawa ini.” Kata Tika sambil menjijing plastic putih sedang yang terikat dan terbungkus rapat. “Apa itu Tika?” Tanyaku membingung. “Ini sayur yang basi kemarin, aku sengaja bungkus rapat untuk aku buang nanti. Tadi sebenarnya aku mau buang ditempat sampah belakang, Cuma aku gak enak kalo sampai ketahuan ibu kost.” Jelas Tika berbisik. “Ooo….” Aku Cuma bisa mengangguk – angguk. 

Ditengah jalan, sekitar sepuluh meter dari kost, Tika berhenti sejenak. “Ada apa Tika?” Tanyaku masih bingung dengan tingkah lakunya. “Ssssttttt, aku mau buang sayurnya disini.” Jawab Tika sambil meletakkan bungkusan sayur basi itu dipinggir jalan kecil yang lumayan sepi.

Sesampainya didepan warnet “Hwaaa,,, Re, ini ada tempat sampah. Kenapa tadi sayurnya gak kita buang aja ditempat sampah ini.” Teriak Tika setelah turun dari sepeda dan mulai memarkir sepedanya. “Yahhh mana aku tahu, tadi Tika buang sayurnya tiba – tiba sih, mana jaraknya dekat lagi sama kost, ntar kalo tiba – tiba ada tetangga yang nemuin sayurnya dan mulai cerita – cerita ke orang – orang dan ibu kost kita tahu itu sayur yang dikasih ke kita gimana coba, kita yang kena, soalnya ibu kost kan ngasih sayurnya ke kita bukan ke yang lain, haduh,haduh” Jawabku panjang lebar dengan perasaan agak cemas. “Lha aku kira gak ada tempat sampah, ya udah aku buang aja dipinggir jalan yang sepi, ah udah lah gak usah dipikir.” Sambungnya. 

Kami memakai satu computer di warnet, karena niat kami semula sama, sama – sama melihat informasi akademik kami. Dan ternyata menjalar ke Facebook. Tika hanya senyum – senyum melihat postingan – postingan dari teman – temannya, termasuk dari mantannya. Melihat dan membaca postingan tersebut, akupun ikut tersenyum bahkan sampai tertawa bareng Tika. Tak henti – hentinya kami tertawa sampai kami kembali ke kost. 

Malam harinya, setelah kami baru mengambil uang di ATM yang berjarak sekitar 4 kilometer, kami mulai memasuki gang kecil dekat kost kami, sesampainya didepan kost, Tika langsung berhenti mendadak dan mulai membaca doa – doa. “Ada apa Tika” Tanyaku yang saat itu berada di belakangnya. “Ada penampakan putih – putih” Jawab Tika sambil memejamkan mata kearahku dan berbisik – bisik. “Mana??” Tanyaku yang langsung mencari – cari penampakan tersebut dengan gaya sok berani.

“Ah, halusinasiku aja berarti.” Kata Tika sambil mengibaskan tangannya dan menundukkan pandangannya.
Mulanya aku berani dan tak begitu takut mendengar hal itu, tapi lama – lama aku merasa merinding. Tak ada keberanian untuk ke kamar mandi rasanya, padahal aku harus gosok gigi sebelum tidur, haduh, aku mulai bingung. Tika masih terlihat ketakutan. Aku hanya bisa menghela nafas dan berdoa mohon perlindungan dari-Nya. Lama – lama aku beranikan diri untuk pergi kekamar mandi sendiri. Dan untunglah tak ada apa – apa. Tapi, ketika aku hendak memejamkan mata, aku mendengar ada suara tawa anak kecil yang membuat bulu kudukku berdiri. Aku hanya bisa menutup semua badanku dengan sprei yang selalu aku jadikan selimut ketika tidur. Tak berapa lama aku mendengar suara orang berlari kencang dari kamar mandi menuju ruang depan, ruangan ibu kost. Yang ada dipikiranku saat itu adalah anak ibu kost yang baru dari kamar mandi dan tiba – tiba melihat penampakan dan kemudian berlari kencang. Haduh, haduh, pikiranku kacau. Aku mencoba berdoa, berdoa dan terus berdoa memohon lindunganNya. Sampai akhirnya aku tertidur

##########

Pagi harinya, ketika aku mulai bersiap – siap mengikuti study club aku ingin menceritakan hal tadi malam yang aku dengar. Tapi, sebelum aku bercerita, Tika memulai ceritanya duluan. “Tahu gak? Karena saking takutnya tadi malam, habis dari kamar mandi aku langsung lari dan bobok.” Sahut Tika dengan wajah innocent. “huft…..” kuhela nafas panjang – panjang. “Ohhh… yang lari tadi malam tuh Tika tho?! Aku kira anaknya ibu kost yang ketakutan gara – gara liat penampakan.” Jawabku dengan wajah skeptis. “He…he.. iya” Sahut Tika meringis. “Wah tahu gitu aku gak usah takut – takut tadi malam, ah aku gak jadi takut lah kalo gitu” Sambungku agak manyun.

Disiang hari, saat aku dan Tika mengikuti kelas pronunciation, ternyata ada sebagian teman – teman kelas lain ikut. Termasuk Dewi, teman satu kelas speakingku yang sangat anggun, dewasa dan lembut. Teman – temanku sering memanggilnya dengan nama Manohara, karena wajahnya yang mirip Mano dan cara bicaranya yang lembut. 

Kali ini, kami diajarkan twister tongue. Kami disuruh menirukan cara Gio mengucapkan “The fat cat sat on the man’s black hat” dengan mulut harus terbuka lebar dan gigi harus selalu kelihatan. Tak hanya kalimat itu, tapi juga kalimat “time to take towel tutut”, “betty bought a bitter butter”, ”madam minie made a mount of many melons” secara terus menerus. Satu persatu kami ditunjuk dan harus mengucapkannya dengan benar. Yang paling lucu ketika aku dan Tika melihat Aan mulai menirukan cara Gio mengucapkan kalimat – kalimat tersebut. Dengan mata melebar dan mulut terbuka lebar, gigi semua serba kelihatan, alis dinaikkan tinggi – tinggi, Aan dengan sabar menirukan Gio mengucapkan kalimat tersebut pelan – pelan.

Diminggu ini aku sudah mulai sakit, batuk menyerangku dan tenggorokan kering menggelitik kerongkonganku. Aku mencoba menjaga pola makanku, tapi aku selalu tergiur dengan eskrim dan nasi lalap sambal yang membuat keadaanku tak kunjung membaik.

##########

Hari Jum’at datang lagi, saatnya jalan – jalan lagi. Kali ini pasanganku Buchori, si lugu yang ternyata gokil, dan tempat tujuan kami kali ini adalah GP, singkatan dari Garuda Park. Sebenarnya bukan taman sih kalau menurutku, Cuma mirip sebuah tugu atau monument ditengah pertigaan jalan raya. Sebelum berangkat, Jack menawarkan aku untuk menjadi pasangannya, tapi aku tak pernah mau, aku sedikit takut. Dan akhirnya aku tetap berpasangan dengan buchori. Huft.. lega… selama perjalanan yang kami bicarakan bukan tentang idola, ataupun organisasi, melainkan kisah cinta kami masing – masing. Haduh, mengingat kisah cintaku sangat sulit. Dari dulu aku tak pernah dekat dengan laki – laki, hanya sekedar dicomblangi dan dibohongi. Aku kira kisah cintaku adalah kisah cinta paling mengenaskan. Ternyata tak begitu juga. Buchori diputus pacarnya dan dia ditinggal pacarnya, haduh ternyata menyedihkan juga. Padahal menurutku buchori adalah laki – laki yang manis dan rapi. Bahasanya sopan dan tak banyak bicara.

Sesampainya ditempat tujuan, kita mulai berpose mengambil foto – foto. Dan satu yang membuatku terkejut. Danang, seorang yang alim dan kalem mengajakku foto bareng. OMG apa aku gak salah liat, dengar dan rasakan. Dengan gaya agak ragu – ragu dan senyum kaku Tika mengambil fotoku bersamanya. Haduh,, tak pernah aku rasakan dan alami hal seperti ini sebelumnya. Jalan – jalan bareng dan malah foto bareng sama laki – laki. Benar – benar suatu perubahan besar buatku.

Disana juga Buchori mengajak Tika untuk berfoto bersama dengannya. Dengan malu – malu tapi mau, Tikapun berfoto bersama. Hemmm banyak sekali perasaan yang timbul disana yang membuatku tak pernah mengerti. Tika begitu cantik dan anggun. Banyak laki – laki yang suka padanya. Sayangnya Tika sudah mempunyai kekasih. Mungkin ketika semua laki – laki yang ingin mendekatinya merasa kecewa ketika tahu bahwa Tika telah mempunyai dambaan hati. Tapi itulah resikonya perasaan cinta. Kadang mencintai seseorang lebih menyenangkan dari pada dicintai seseorang, tapi sangat sakit pula ketika kita tahu orang yang kita cintai tak ada perasaan apapun untuk kita. Bahkan perasaan orang yang kita cintai tlah termiliki oleh orang lain.

Pulangnya, aku berjalan bareng Buchori dan Iim. Kulihat Danang berjalan mendekati Dewi dan mengajaknya berbicang – bincang. Sungguh serasi menurutku dan tak hanya aku, teman – teman yang lain juga sepikiran. Bahkan tadi waktu di GP mereka juga sempat foto berdua. Dewi yang terlihat anggun, lembut, dewasa dan sholehah tersipu malu ketika Danang mengajaknya berbincang – bincang. Cocok sekali dengan Danang yang sholeh dan kalem. Usahanya untuk belajar bahasa inggris sangat tinggi. Dia belajar bahasa inggris mulai dari nol. Mulai dari tak bisa berkata sepatah katapun, sekarang mulai bisa berbahasa inggris beberapa kalimat.

Siang harinya, ujian akhir minggu yang ketiga dari Miss Agustin. Kami semua disuruh mendengarkan lagu lagi yang bejudul Unbelievable dari Craig David. Oh so sweet lagunya. Setelah itu, kita tak disuruh untuk menyanyi, melainkan untuk berdebat. Terdapat dua kelompok debat, kelompok satu memperdebatkan bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik dan kelompok lain memperdebatkan waktu adalah guru yang terbaik. Aku berada di kelompok yang mendukung waktu adalah guru yang terbaik bersama dengan Moza dan sebagian teman lain, dan Tika berada di kelompok oposisiku yang mendukung pengalaman adalah guru yang terbaik. 

Mula – mula perdebatan berjalan dengan aman dan damai, lama kelamaan perdebatan menjadi kacau dan ricuh hanya karena masing – masing kelompok saling mempertahankan argument masing – masing. Moza yang masih sangat bersemangat membela mati – matian argument dari kelompoknya, termasuk aku. Tapi karena aku tak banyak bicara, aku hanya bisa berbisik dalam hati saja. Suaraku kalah kerasnya dari suara Moza dan Jack yang mempunyai suara yang lebih keras dari aku. Hah,, tapi sudahlah. Itu hanya permainan.
Disore harinya, kami juga menjalankan ujian listening lagi bersama Mr.Oyi. tapi kali ini kami tidak mendengarkan lagu lagi, melainkan mengerjakan soal sains dengan bahasa Inggris. Kami juga harus mengisi angka dan tahun, padahal aku lemah dalam angka apalagi tahun. Speakernya bilang seven, yang kutulis angka Sembilan, speaker bilang nine, yang kutulis angka enam. Terlalu kacau bagiku untuk membahas tentang angka.

Setelah itu kami disuruh menghafal percakapan tentang seorang turis dan orang pribumi. Maju dua orang berpasangan. Saat itu aku berpasangan dengan Ratih, perempuan asli jawa barat yang lansing dan berparas cantik. Aku berperan sebagai orang pribumi dan dia sebagai turisnya. 

Setelah ujian minggu ketiga selesai masing – masing tutor mengumumkan bahwa ujian akhir pecan minggu terakhir adalah bermain peran dengan membuat drama bebas untuk kelas speaking Miss Agustin dan mengahafal semua kosakata yang ada dan akan diujikan secara tertulis untuk kelas Mr. Oyi dan tak ketinggalan ujian tulis menghafal symbol dan broad translation untuk kelas Pronunciation Mr. Gio.

###########

Beberapa hari menjelang ujian, kami diundang untuk befoto ria bersama dan sendiri – sendiri yang akan digunakan untuk sertifikat dan album kenangan. 

Sangat terasa kebersamaan ditempat ini, lengkap sudah semua teman – temanku disini. Semua sudah kukenal dengan baik. Dari yang awal sampai yang akhir. Dari Elly, Laela, Ajir, Danang, Kak Sera yang paling tua yang tak lama berada disini sampai Adipta, buchori, Dewi dan lain sebagainya.

Selama hari menjelang ujian, kami dibagi menjadi beberapa kelompok untuk memainkan drama. Kelompokku terdiri dari delapan orang. Aku, Dewi, Iim, Putri, Wawan, Danang, Moza, dan Abror. Tapi Abror tak pernah masuk. Setiap malam kami selalu belajar belajar dan belajar. Seperti slogan yang dipakai di English Course ini. If you think you can you can. 

Suatu saat ketika aku dan teman – teman lain akan belajar latihan drama, tiba – tiba sebagian dari kami disuruh menunggu diluar dan tidak boleh sedikitpun mengintip tempat latihan kami. Kami sempat bingung. Hanya ada aku, Wawan, Mumu, Tika, Danang, dan beberapa orang saja. Karena sudah larut, kami terpaksa pulang.

Dua hari menjelang ujian, Moza sakit, dia tak mau makan dan masuk kelas. Akhirnya aku dan teman – teman kelompok dramaku menjenguknya di asrama tempat dia tinggal. Dia terlihat sangat lemas dan tak bersemangat. Bibirnya pucat dan matanya agak sayu. Aku dan teman – teman lain mencoba memberikan semangat untuknya. Dia hanya tersenyum tipis. Sementara itu, Abror yang selalu aku hubungi untuk latihan drama tak pernah menampakkan batang hidungnya sekalipun. Yah terpaksa kami latihan dengan personel seadanya. 

Dalam drama ini, kelompokku mencoba membuat parody tentang pengajaran sebagian tutor disini. Aku berperan sebagai Miss Agustin dengan nama Miss Titin. Wawan berperan sebagai Mr. Oyi dengan nama Mr. Oye. Kami berlatih, berlatih dan terus berlatih. Dari siang sampai malam tak pernah berhenti untuk berlatih. Sampai keadaanku benar – benar tak bisa membaik.

Hati H pun tiba. Di minggu terakhir ini, study club dan jalan – jalan memang ditiadakan. Kami lebih konsentrasi ke drama dan ujian tes kami. 

Dikelas speaking Miss Agustin, masing – masing kelompok menampilkan dramanya. Semuanya terlihat sangat kompak dan lucu, termasuk kelompokku. Dan untungnya saat ujian dimulai, Moza sudah mulai membaik dan Abror pun sudah mulai mau berlatih walaupun Cuma sehari. 

Setelah drama usai, teman – teman mengajakku untuk makan siang bersama di warung makan bawah tanah yang jaraknya lumayan jauh ditempuh dengan berjalan kaki. Ada aku, Tika, Dewi, Marzah, Iim, Adipta, Danang, May, Buchori, Ratih, Mb. Fina, Acil, Ridho, Mumu, dan Riza. Semuanya kompak dan kami sempat mengambil beberapa foto – foto bersama. 

Oow makan sambal lalap lagi, hemmm aku pesan teh anget aja deh kalau begitu. Batinku.
Hampir seperempat jam minumanku tak kunjung datang. Sampai akhirnya beberapa es teh pun tersaji dimejaku. “Lho! Teh anget buatku mana?” Tanyaku pada Mumu, anak Jakarta yang kuliah di BSI yang semesternya juga sama denganku. “Kayaknya udah gak ada, ya udah ini diminum aja gak apa – apa.” Jawabnya sambil menyodorkan es teh didepanku. 

Sebenarnya udah merasa tak enak badan dan agak lemas, tapi aku mencoba bertahan sampai dua hari lagi aku pulang ketempat asalku. Lagian aku juga udah mencoba periksa dan minum obat dari dokter. 

Sore harinya Tika mengajakku ke tempat photo copy, tapi setelah dicari – cari, tempat itu tak ketemu juga. Setelah bersepeda agak jauh dan lama, tiba – tiba Tika berhenti dan masuk ke salah satu toko. “Nanti foto kopinya disana mbak.” Kata seseorang penunggu toko tersebut sambil mengacungkan jarinya kearah selatan. Aku kurang paham dengan pembicaraan mereka saat itu, yang jelas ada hal yang membuatku merasa ganjal. Tika pun keluar dengan wajah agak memerah sambil berbisik “Ini tuh tempat fotografer, bukan foto kopi”. Dan ketika aku melihat keatas toko itu, terpajang tulisan besar “Photographer.” Aku Cuma bisa meringis dan merasa bersalah. Masalahnya sebelum sampai ketempat itu, aku sempat bilang ke Tika kalau di depan ada sebuah toko, mungkin toko photocopy pikirku, soalnya aku pernah melihat ada mesin putih besar yang mirip mesin photocopy disitu, dan seketika itu pula Tika langsung bergegas menuju kearah toko itu.

############

Keesokan harinya aku dan Tika pergi ketempat kami belajar untuk mengambil sertifikat. Disana ada Danang, Ratih, Ely, Marni, Ajir, Imam dan segelintir orang. Ketika aku sedang melihat nilai yang ada didalam sertifikatku, tiba – tiba Danang mengambil sesuatu dari dompetku, ketika aku lihat ternyata dia mengambil salah satu fotoku. Hemmm,,, gak sopan. Tapi karena aku agak sedikit narsis, aku pilihkan dia foto yang lebih baik dari pada yang diambilnya. Aku juga sempat bertukar foto dengan Ely dan minta foto Tika. 

Malam harinya teman – teman juga mengajakku untuk berjalan – jalan ke GP. Sesampainya disana, puluhan bahkan hampir ratusan orang memadati bangunan ini. Parkiran motor penuh dipinggir jalan. Dan ternyata keadaanku malah tambah memburuk. Aku tak sanggup lagi untuk berjalan. Tak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku hanya bisa duduk lemas tanpa berkata apa – apa. Tika menyuruhku untuk pulang, dan akhirnya aku pulang diantar temanku yang lain. Padahal saat itu, aku sedang memesan jagung bakar yang akan aku makan bersama – sama dengan teman – temanku disana, ya sudahlah, apa boleh buat.

Disaat aku tertidur, Tika mengompresku dengan kaosnya dan air hangat yang baru dia rebus. HPku terus berbunyi dan bergetar. Dan dengan segera Tika mematikan HPku “Biar gak ganggu kamu Re, udah kamu istirahat aja, gak usah mikirin SMS” Katanya yang saat itu masih merawatku.

Aku tergeletak lemah tak berdaya sembari batuk tak henti – hentinya. “Aku besok mau pulang Tika, apa Tika gak mau bareng?” Kataku. “Enggak Re, aku masih harus disini satu bulan lagi, kamu besok pulangnya bareng Dewi sama Laela aja.” Jawab Tika bersikap dewasa. Dan seketika aku langsung tertidur.
Paginya aku bangun sekitar jam empat pagi dan memutuskan untuk mandi sekalian mencuci kaos Tika yang sudah dipakainya untuk mengompresku tadi malam. Aku bersiap – siap untuk pulang, tapi batukku tak kunjung reda, ya setidaknya aku masih punya daya untuk berjalan. Tika mengantarku sampai ke Ocean Camp, aku menunggu Dewi dan teman – teman lain untuk berpamitan, termasuk berpamitan ke Camp laki – laki. 

Sebelum aku berangkat ke tempat menunggu bus, Tika menyolekku dan berkata “Re, si dia!” Seketika aku langsung memasang mataku dan mungkin untuk terakhir kali aku melihatnya. Melihat seseorang yang mirip dengan seseorang dimasa laluku. Aku tak tahu siapa namanya tapi aku sering bertemu dengannya. Dia berjalan membantu temannya menjijing tas dan memakai jumper hitam. Cara dia berjalan dan cara dia tersenyum sungguh mengesankan. Dengan langkah yang mantap dan tatapan mata yang tajam serta dengan senyum tipis yang selalu dia tawarkan, dia berjalan menuju tempatku menunggu bus. Wajahnya yang bersinar dan tingkah lakunya yang kekanak – kanakan membuatku benar – benar terkagum melihatnya.

“Tenang aja Re, aku kan masih lama disini, nanti biar aku coba kenalan sama dia dan nanti kalian aku comblangin” Bisik Tika tersenyum disampingku. Aku hanya bisa terdiam memandanginya sampai dia benar – benar menghilang. 

“Oh Tuhan, kalau dia memang jodohku, pertemukanlah dan dekatkanlah dia padaku, tapi kalau dia bukan jodohku, berikanlah aku seseorang yang terbaik untukku.” Doaku saat itu. 

Teringat aku saat pertama kali bertemu dengannya di warung makan itu, warung makan didepan tempat dia mengambil program kelas bahasa jepang. Ketika Iim dan Tika mengajakku makan siang. Aku melihatnya berjalan didepanku. Dengan acuh dia tak hiraukan aku. Dia hanya tersenyum melihat temannya yang salah tingkah. Dan setelah itu, aku sering melihatnya. Aku melihatnya ketika dia dimasjid, ketika dia di warung makan dan ketika dia dijalan. Dia membuatku tak pernah bisa memejamkan mata ketika aku tidur. Dia juga membuatku tak enak makan ketika aku mengingatnya dan mengingat masa laluku. Karena memikirkannya, aku terjatuh dari sepeda dua kali, sebelum berangkat mengikuti kelas dan sesudah pulang dari mengikuti kelas. Karena melihatnya juga membuatku jerawatan di tengah alisku. Dan jerawat itu hilang ketika aku bertemu dengannya. Ah mungkin hanya sugestiku saja. Pikirku. Cara dia memandangku berbeda dengan cara orang lain memandang. Apalagi ketika kita sedang bertatap muka. Wajahnya terlihat manis, lebih manis dari artis korea. Rambutnya yang hitam dan wajahnya yang putih membuat dia sempurna dipandang mata. Cara dia tersenyum dan berjalan membuatku tak pernah berhenti memandang. 

Yang membuatku paling terkesan adalah ketika dia mengambilkan aku sebuah permen di sebuah warung makan dan tersenyum padaku saat kita bertemu dijalan. Waw.. Fantastic. 

Entah siapa namanya, darimana asalnya, aku tak pernah tahu. Sampai saat ini. Aku juga tak akan pernah tahu. Tuhan tak mempertemukan dan mendekatkan aku dengannya. Tika juga akhirnya pulang setelah beberapa hari kutinggal disana. Aku juga sempat di kompres dan dirawat didalam bis oleh Dewi, dia kuliah di Surabaya jurusan Farmasi, jadi sedikit sedikit dia tahu tentang kesehatan dan perawatan. Untungnya ada Dewi yang mau menemaniku sampai ditempat tujuanku. Dewi dengan senang hati dan tulus ikhlas membawakan semua barangku dan mengantarkan aku benar – benar sampai tempat tujuanku, sampai aku bertemu keluargaku. Tuhan, Engkau Maha Penyayang. Engkau beri hambaMu ini teman untuk membantu hamba.

Comments

Popular posts from this blog

IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) Universitas Ahmad Dahlan

The Summary of How to Be A Smart Writer