Cuaca tak Memungkinkan, Bimbel Diliburkan, Rumah ‘Simbah’ Jadi Incaran



http://herbal-id.com/wp-content/uploads/2014/02/Tips-Mengatasi-Masalah-Kesehatan-Akibat-Bahaya-Hujan-Abu-Vulkanik.jpgPagi ini, badanku terasa sakit semua, mataku masih berat untuk terbuka, tapi jam yang sudah menunjukkan pukul 5 pagi ini membuatku harus bangun dan segera mengambil air wudhu. Aku pun beranjak dari kasur tinggi dan segera membuka pintu kamar kost. Mataku masih berkedip-kedip sembari berjalan menuju kamar mandi yang berada di sebelah utara kamarku. Aku pun segera mengambil air wudhu dan mulai agak tersadar jika pagi ini terasa tak biasa. Ku tengok langit yang masih terlihat gelap dengan butiran-butiran putih jatuh dari langit, aku pikir hanya debu biasa, aku pun masuk ke kamar dan melakukan munajat kepada Sang Pencipta. 


“Mbak, katanya hujan abu dari gunung Kelud.” Kata adikku saat mataku sedang terfokus pada kitab suci kecil berwarna pink. Aku hanya bisa menanggapi biasa karena aku pikir hujan abu tak akan setebal saat Merapi erupsi. Aku dan adikku pun mulai bercengkrama di dalam kamar tanpa menengok luar yang ternyata sudah tertutup abu, tak berapa lama bunda kost-ku yang rumahnya tepat di depan kamar kostku yang hanya berjarak beberapa meter saja memanggilku dan adikku untuk berlindung di rumahnya. Seperti biasa, aku dijemput oleh anak perempuan pertamanya yang berumur 12 tahun, Kak Izza. 

“Sini aja mbak rame-rame,, kasihan kalo di kamar nanti. Lihat mbak, abunya tebal sekali dan langitnya gelap, kayak pas merapi meletus.” Kata bunda kost yang sudah menganggapku seperti saudaranya sendiri. 
“Wah hujannya kok coklat bunda? Aku mau sekolah bunda, nanti kalo gak sekolah dimarahi bu guru.” Celoteh dek Aisyah, anak bungsu bunda kost yang masih berumur enam tahun dengan potongan rambut mirip Dora.

“Sekolahnya libur dek, bu guru gak bakal marah kok.” Jawabku mencoba menenangkan kegalauannya. #lagisokbijak

“Dulu waktu merapi juga kayak gini, aku masih kecil, trus aku nginep di tempat pak dhe, bla,, bla,, bla,,” Si kecil Aisyah tak pernah berhenti bercerita ini itu.

Bunda kost yang punya usaha katring sudah mulai sibuk di dapur, tak terkecuali Izzah yang selalu tekun dan rajin membantu bunda kesayangannya. Tak berapa lama dua mug besar berisi teh hangat datang, ditambah sepiring kecil rolade sudah tertata rapi diatas nampan. 

“Ini mbak, buat sarapan, di luar gak ada yang jualan makanan lho pagi-pagi.” Sahut bunda dengan senyum ramahnya. 

Aku merasa sangat, sangat bersyukur dipertemukan oleh Allah dengan seseorang yang baik hati seperti bunda dan anak-anak cantiknya. 
 
Hujan abu masih berjatuhan dari langit, aku sudah bersiap-siap untuk pergi ke kantor. Kantorku berada sekitar 2 km dari kostku. Aku bekerja sebagai kepala cabang dan tentor sebuah bimbingan belajar yang cukup terkenal di kota ini, kota Magelang. Cabang bimbel yang aku kelola berada di kecamatan Mungkid yang berjarak cukup jauh dari kabupaten. Maka dari itu aku memutuskan untuk mencari kost yang dekat dengan tempat dimana aku bekerja dari pada tinggal bersama nenekku yang rumahnya dekat dengan kota. Ketika aku sedang bersiap-siap mengenakan jilbab 120 cm ku, ku dengar getaran telepon genggam milikku. Panggilan dari mbak Erni, admin yang selalu setia dan cekatan mengatur jadwal dan melayani konsumen. 

“Mbak, gak usah berangkat aja, aku udah sampai kantor tapi barusan pak bos bilangnya libur... wah jan udah kena debu semua mbak aku, malah libur.” Celoteh mbak Erni yang terdengar cukup sabar.
Ku lepas lagi lipatan jilbab dan ku sungkurkan badanku di atas kasur.

“Emang ini waktunya buat tidur,, rasanya badanku masih lemes sama sakit.” Ujarku dengan nada lemas dan mulai menarik selimut. 

Adikku yang melihatku malas-malasan mulai menarik selimut yang sudah menutupi tubuhku. 

“Mbak,, cari maem yuk,, laper nih. Masak gak ada orang jualan ya? Ayo mbak, jangan tidur melulu.” Adikku sepertinya sudah kelaparan. Tapi aku malas mencari makan di suasana yang seperti ini. Aku yakin tak ada penjual nasi yang buka ketika hujan abu tebal menutup bumi kota sejuta bunga ini.  

Tak berapa lama, hujan abupun sedikit reda, ku putuskan untuk singgah di tempat ‘simbah’ yang rumahnya berjarak sekitar 25 KM karena aku pikir tak akan ada penjual nasi yang buka seharian ini mengingat hujan abu telah menyelimuti kota ini. Dengan singgah di tempat ‘simbah’, setidaknya aku tak akan terlalu kesulitan mencari makanan. #hehe

Aku dan adikku pun mulai berpamitan kepada bunda kost dan pembantunya untuk singgah sehari di tempat simbah. Sebenarnya kami sudah ditawari sarapan oleh bunda sekeluarga, tetapi kami sudah bersiap dengan jaket dan masker yang sudah menutup dan menempel rapat di badan kami. Nolak rejeki deh, hehe..

Ku mulai starter motor matic merah yang biasa dipakai adikku dan kami pun melaju cukup kencang dengan butiran-butiran abu yang menutup seluruh jalan. Jarak pandang pun tak jauh, debu-debu mulai mengotori badan kami. 

“Mbak, jangan ngebut-ngebut, pelan aja.” Ujar adikku dengan suara samar-samar karena tertutup masker.
Aku hanya mengangguk dan tetap dengan kecepatan 60-80 km/jam. Abu mulai masuk ke mata, aku tak berani mengucek mataku, rasanya sudah mulai sesak nafasku, tetapi aku tetap melanjutkan perjalananku. Mataku mulai melihat bintik-bintik putih yang berputar-putar, sepertinya aku hampir pingsan. #lebay

Akhirnya, setengah jam berada di jalan yang penuh abu, sampai juga di rumah ‘simbah’. Ku parkir ‘si merah’ tepat di depan warung kelontong nenekku, aku ketok pintu kaca jadul bertepi kayu coklat. 

“Assalaaaaamu’alaikum....” Sapa ku dengan suara sedikit keras.

“Wa’alaikumussalam...” Balas nenekku dari dalam rumah dan mulai membukakan pintu jadulnya. 

“Mbah,, kita numpang bobok sini ya,, hujan abunya tebel e.. ini aku bawakan mantau sama ragout buat digoreng.” Kataku yang langsung masuk kamar dan menaruh tas ransel besarku yang selalu menemaniku kemanapun aku pergi. 

Tak berapa lama, aku ganti pakaianku yang penuh dengan abu dan aku goreng mantau serta ragout yang ku beli di tempat bunda kostku, maklum bunda kostku juga jualan frozen food dan kebetulan keluargaku memang suka dengan beberapa jenis frozen food. Setelah setengah bungkus mantau dan ragout selesai ku goreng, aku cicip beberapa dan aku pun mulai merebahkan badanku di atas spring bed baru yang ada di kamar tamu rumah ‘simbah’ku. Aku memang baru sembuh dari sakit dan semua badanku masih terasa lemas, aku sangat butuh banyak istirahat. 

Untungnya aku bisa singgah di rumah ‘simbah’ yang cukup aman, nyaman, tentram, dan luas. Aku pun bisa bersantai dan beristirahat cukup lama, soal makan, nenekku sangat ahli memasak, jadi nenekku masih punya semangat dan tenaga untuk selalu siap menyediakan dan memasak apa saja yang di sukai oleh suami dan cucu-cucunya. Benar saja, setelah beberapa jam aku menutup mata, bau sedap sudah mulai terbang-terbang dan masuk ke hidungku. Aku pun akhirnya membuka mata dan merasakan cacing-cacing di perutku sudah mulai menari-nari. Segera aku lipat selimut yang menutup tubuh kurusku dan beranjak bangun menuju ruang makan yang tepat di depan kamar yang aku tempati. 

“Ayo, kalo mau makan, nenek udah bikin nasi godog.” Kata nenekku yang sedang sibuk menyiapkan semangkuk besar nasi godog.

Aku pun segera mengambil piring dan sendok yang ada diatas meja makan. Ku ciduk beberapa centong nasi godog buatan nenekku yang paling cantik dan ku santap nasi berwarna coklat itu dengan lahap. Rasa bumbu rempahnya sangat terasa, gurih dan manis yang menjadi ciri khas masakan keluargaku memang sudah melekat di lidahku. Memang sangat tepat keputusanku dalam mengincar rumah ‘simbah’ untuk ku jadikan tempat berteduh, berlindung, dan bersantai. Hehe...


Comments

Popular posts from this blog

I'm proud of my students ^_^

Are You Still on Fire?!?