Kepada orang tua kita harus ‘Manut’



https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiTyAmaM3NAOMJDs1NFQJ8O8Qash4lthWToLmsICPGzN5G6ab-ot2DTEvlgjQpXKtbD6LD-BvXMHKRW0u2o2TyoSdnGk0FKjmZ3Arof1U37GhmGPmxwn0UtRDCzhskS4H5WsiidZNkyp5sX/s1600/karenah-murid2.jpg
sumber: google
Ini adalah pengalamanku sebagai ketua cabang sekaligus tentor suatu bimbingan belajar yang cukup terkenal di kota sejuta bunga, kota Magelang. Setelah masa kontrak kerjaku di suatu universitas swasta ternama dan terbesar di Yogyakarta selesai, aku langsung diangkat sebagai ketua cabang sekaligus tentor di cabang Blabak, kecamatan Mungkid, Magelang. Aku kira, semula aku tak akan mengalami hambatan apapun, secara bimbel ini merupakan bimbel yang sudah memiliki nama dan siswa yang jumlahnya hampir mencapai 300. 

Awal aku menjabat, hanya ada 1 siswa yang mendaftar, siapa lagi kalo bukan Rizal, anak dari pemilik kontrakan yang disewa bimbel. Berapa hari kemudian tambah 2 siswa dari luar. Segera aku tarik mereka untuk mengikuti les gratis bahasa Inggris selama satu minggu. Satu minggu kemudian bertambah lagi 2 siswa dari SMP N 1 Mungkid yang berjarak 200 m dari bimbel yang akhirnya membatalkan les hanya karena promo diskon yang ditawarkan Cuma satu bulan. Padahal mereka sudah tiga kali datang ke bimbel dan belajar gratis PPKn dan bahasa Inggris. Sudahlah, itung-itung buat ibadah.

“Lho mbak, katanya bayarnya enam puluh ribu perbulan?” Tanya Fajar, siswa SMP kelas 3 yang berniat ikut bimbel dan kemudian membatalkan niatnya hanya karena harga promo.

“Lha kan Cuma satu bulan ini, nanti bulan berikutnya udah seratus dua puluh, itupun udah murah dibanding bimbel lain.” Balasku dengan memamerkan senyum dan wajah sabar berharap dia bisa melanjutkan belajarnya di bimbel ini.

“Iya sih, kalo di bimbel lain malah lebih mahal, itupun satu kelasnya ada lebih dari sepuluh siswa.” Sambung Ghani, teman satu kelas Fajar.

“Lha kenapa diskonnya gak sampe aku ujian mbak?” Tanya Fajar ngeyel dan berharap aku berbelas kasihan untuk menurunkan harga sampai 50% hingga dia lulus ujian.

“Enak aja, ya gak bisa gitu dong, emang ini bimbel punya nenek moyang loe?” Eh salah tulis #hehe

“Ya gak bisa gitu dek, ini udah keputusan dari atasan dan ini udah jadi sistem dek, gak bisa kalo diskonnya sampe kamu lulus.” Kataku masih sabar dengan tenaga sudah menipis.

“Udah dicoba dulu satu bulan, nanti kalo mau lanjut silahkan, kalo gak ya gak apa-apa.” Bujuk mbak Erni yang selalu setia dan sabar menghadapi para konsumen.

“Ya sudah mbak, tak pikir-pikir lagi.” Kata Fajar yang tak lama kemudian langsung pergi meninggalkan bimbel. 

Untuk menambah banyak siswa, banyak cara yang aku lakukan, mulai dari menyebar brosur ke sekolah-sekolah sampai menyebar brosur ke ibu-ibu PKK di daerah dekat bimbel. Aku harus keliling kesana kemari, pasang iklan di internet, termasuk lowongan pekerjaan tentor untuk membantuku dalam mendidik para peserta didik dan memenuhi kebutuhan akademik mereka. 

Sebagian besar peserta didik di bimbel ini memang masih berusia dibawah 12 tahun. 80% dari tingkat SD dan hanya 20% dari tingkat SMP, untuk tingkat SMA sendiri, aku dan mbak Erni sebagai staff admin belum mendapatkan mangsa. Aku sendiri, sebagai lulusan pendidikan bahasa Inggris harus ikut mendidik tiga siswa SD yang duduk di kelas 1. Mereka bernama Fafa, Nuha, dan Tyo. 

Fafa adalah siswa laki-laki yang paling aktif, paling usil, dan paling yang lainnya. Terkadang aku dan mbak Erni kualahan menghadapi tingkah laku satu anak ini. Nuha adalah siswa laki-laki yang suka bercerita ini itu, dia masih lemah dalam masalah hitung menghitung, bahkan dia sempat takut dengan angka ratusan. Sedangkan Tyo adalah siswa laki-laki yang paling bontot, umurnya lebih muda dua tahun dari yang lain. Untuk masalah hitung menghitung, dia lancar, tapi untuk masalah membaca dan menulis, dia perlu dibimbing dan dilatih lebih banyak. Aku pikir karena masalah umur yang belum mencukupi, makanya dia masih perlu belajar membaca dan menulis. 

Untuk minggu pertama aku mengajar mereka, tak ada kesulitan sedikit pun. Apalagi urusan matematika, walaupun Nuha sedikit kesulitan, tapi dengan teliti dan telaten, aku coba sedikit demi sedikit untuk lebih memperhatikan Nuha dalam menghitung angka, terutama ratusan. Tak jarang mbak Erni ikut telaten membantuku dalam mendidik mereka. Untungnya kelas mereka tak pernah berbarengan dengan kelas lain, karena bisa repot.

Di minggu kedua, aku mulai mengajari mereka PPKn agar mereka tak hanya memahami berhitung, tetapi juga memahami ilmu sosial dan ilmu baca tulis terlebih mendengarkan. 

“Nah sekarang PPKn ya. Ayo buka LKS kalian, sini ibu tebak nanti kalian yang jawab yaaaaa....” Kataku dengan semangat.

“Iyaaaaaa!!!!!!!” Jawab mereka serentak. 

“Sesama teman kita harus saling........” Kataku.

“Emmmm membantu!” Jawab Fafa dengan aktifnya.

“Bagus,, sebutkan tiga hal yang termasuk dalam hal kebersihan.” Mintaku dengan senyum lebar.

“Mandi!” Teriak Fafa.

“Pinter, apa lagi ayo?” Balasku masih semangat dan memamerkan senyum.

“Makan!” Jawab Nuha. Wajahku mulai sedikit skeptis.

“Tiga hal yang termasuk kebersihan.” Aku mencoba mengulangi.

“Minum.” Jawab Tyo.

Fafa mulai bertingkah usil dengan menjatuhkan tas Tyo yang berada di sebelak kirinya. Aku hanya bisa melirik.

“Yang termasuk kebersihan.” Sekali lagi aku mengulangi pertanyaan dengan wajah sabar.

“Gosok gigi.” Jawab Fafa.

“Iya, bagus,, satu lagi?” Kataku dengan wajah yang masih sabar.

“Ngepel!! Nyapu!!” Teriak Tyo girang sambil mengambil tasnya yang jatuh. 

“Pinteeeeerrrr,,,” Balasku lega.

“Sekarang, air yang bergizi adalah air?” Aku melontarkan pertanyaan seperti yang tertulis dalam LKS yang mereka bawa. 

Mereka bingung, terdiam agak lama sambil melirikkan mata ke kanan dan ke kiri. Fafa, jangan ditanya. Dia mulai kesurupan tuyul yang super usil. Dia mencoba menggoda teman-temannya dengan menjatuhkan barang-barang milik Tyo dan Nuha. 

“Heh, anak sholeh gak boleh gitu, anak sholeh itu duduknya yang manis dan gak usil.” Kataku memperingatkan Fafa dengan nada yang lemah lembut.


“Ayo, tadi air yang bergizi namanya air apa?” Tanyaku sekali lagi dengan sedikit bingung karena soal yang satu ini menurutku kurang komprehensif.  

“Air su....” Kataku memancing mereka.

“Air sumuuurrrr!!!” Teriak Fafa, diikuti Nuha dan Tyo. 

Ini aku yang salah, apa mereka yang saking pinternya, atau buku LKSnya yang saking bagusnya? Aku mulai menggaruk-garuk kepala lantaran bingung harus berbuat apa.

Mereka mulai rame dan terkadang berlarian kesana-kemari. Entah kesambet tuyul dari mana mereka bisa jadi lari-lari dan terkadang berkelahi.

Lanjut ke pertanyaan berikut. 

“Kepada orang tua kita harus....” Tanyaku yang mulai kehilangan sedikit kesabaran.

“Manuuuutttt!!!” Jawab mereka serentak.

Aku hanya membatin. Iki arep boso Jowo, boso Inggris opo malah boso Indonesia? Lha kok malah koyo ngene. 

“Yoooooo... pinter. Yo dilanjut.” Kataku.

Comments

Popular posts from this blog

I'm proud of my students ^_^

Are You Still on Fire?!?