Superhero for My Son

Bagiku, ayah adalah seorang pemimpin yang mempunyai tanggung jawab besar dalam memimpin dan mengayomi keluarganya. Tak hanya itu, kasih sayangnya sangat diperlukan untuk menciptakan keharmonisan rumah tangga. Dan bahagianya, hal itu telah aku temukan didalam diri seseorang yang aku cintai, siapa lagi kalau bukan suamiku yang telah selalu siaga disampingku kapanpun aku membutuhkannya. 
Teringat aku saat-saat akan melahirkan sang buah hati. Baru sehari ia merantau untuk bertugas mencari berita, aku sudah menyuruhnya pulang untuk menemaniku menginap di rumah bersalin “At-Tin”. Saat itu, Kamis sore, aku mengajak kakakku untuk berkonsultasi kepada bidan langgananku di rumah bersalin tersebut, siapa lagi kalau bukan Bu Arti sebagai bidan senior yang cukup terkenal di kota dingin ini. Keluhanku saat itu adalah mules dan kencang di perut. Dan hasilnya ketika aku merasakan rasa kencang yang lebih sering, aku harus segera kembali ke rumah bersalin tersebut. Aku pun pulang dan mulai membantu ibuku berjualan takjil. Menjelang malam, aku putuskan untuk sholat tarawih di rumah, dan benar saja, sesekali aku merasakan kontraksi yang masih ringan. 
Aku pun mengeluhkan hal tersebut kepada ibuku, akhirnya, ibuku menyuruhku untuk mempersiapkan semuanya dan membawa segala perlengkapanku ke dalam koper. Sembari menyetrika baju kemeja dan selendang yang wajib aku bawa, aku meringis geli merasakan kontraksi ringan. Keluargaku langsung membawaku ke tempat bersalin tersebut. 
“Oh sudah bukaan dua, menginap disini aja biar gak bolak-balik.” Kata Bu Arti. 
Aku pun mengiyakan dan segera memberitahu suamiku untuk menuju rumah bersalin tersebut. 
Jam sepuluh malam sudah, suamiku akhirnya tiba dengan membawa satu tas besar berisi pakaian dan handycam andalannya. Bapak ibuku yang telah mengantarku akhirnya pulang dan satu orang yang memang setia menemaniku, ayah untuk si kecilku. 

Di kamar berukuran 5 x 6 yang aku tempati saat itu, tersedia dua kasur di pojok utara dan selatani, ditengahnya terletak box bayi besar dengan kelambu dan di seberangnya terdapat kasur kecil untuk mengganti baju bayi. Tak jauh, ada sebuah kamar mandi kecil dengan toilet duduk yang cukup nyaman.

“Sini, mas temenin disini.” Katanya sambil memelukku.

Aku pun segera berbaring di kasur sebelah utara. Disuruhnya aku tidur untuk mengumpulkan tenaga esok saat persalinan. Padahal saat-saat seperti itu sulit bagiku untuk memejamkan mata karena beberapa menit sekali perutku terasa mulas dan kencang. Akupun selalu mondar-mandir ke kamar mandi karena efek dari rasa mulas dan kencang. Alhasil, paginya aku mual muntah tak karu-karuan. Ibuku pun datang menjenguk dan menanyakan keadaanku. Mengetahui anaknya belum ada perkembangan, ibuku segera menyuruhku untuk berjalan-jalan kesana kemari. Tak hanya itu, ketika melihat sebuah bangku pendek, ibuku menyuruhku untuk menaiki dan menuruni bangku tersebut. Hal itu aku lakukan berjam-jam hingga siang menjelang.

“Sudah jam 11, mas siap-siap jum’atan ya.” Kata belahan hatiku dengan tatapan mata agak berat dan malas-malasan.

“Iya, jum’atan aja, siapa tahu habis jum’atan dedeknya lahir.” Jawabku tersenyum memaksa sembari menahan rasa mulas.

Beberapa menit berselang, ia tak juga beranjak pergi ke masjid, terlihat sekali gayanya setengah malas dan berat meninggalkanku sendiri dikamar sederhana tersebut. Aku pun tak sabar menanyakan keadaanku dan tindak lanjut dari bidan terhadapku.

“Mbak, kok saya belum diperiksa lagi ya? Kira-kira mau diperiksa lagi kapan?” Tanyaku kepada mbak Dewi, asisten bidan yang khas dengan behelnya.

“Nunggu ada indikasi lagi mbak.” Jawabnya.

“Indikasinya apa aja?” Tanyaku.

“Lendir darah yang bertambah banyak, air ketuban yang pecah, atau mules yang mulai sering.” Jawabnya.

Akupun segera menuju ke kamar dan berjalan-jalan kesana kemari sembari memegang tulang belakangku yang semakin sakit.

“Sudah mbak, mending mbak istirahat, buat bobok miring ke kiri. Itu sama aja kayak mbak jalan. Daripada nanti mbak kecapean gak ada tenaga buat persalinan.” Kata mbak Dewi yang mulai masuk ke kamar. Aku pun berbaring menghadap ke kiri dengan harapan bayiku akan segera keluar dan rasa sakit ini segera hilang.

Beberapa menit kemudian, suamiku datang dan menanyakan keadaanku.

“Udah dicek lagi belum?” Tanyanya.

Aku hanya menggelengkan kepala dan menjelaskan indikasi yang membuatku akan diperiksa lagi. Karena tak juga merasakan indikasi tersebut, aku pun sempat menangis dua kali karena sudah tak tahan merasakan sakit yang tak karu-karuan tersebut. Belahan hatiku hanya bisa memelukku dan membantu meringankan sakitku dengan mengelus-elus punggungku.

Sudah jam 2 lebih. Badanku mulai lemas, aku memutuskan untuk berbaring ke kiri dan beristirahat. Ternyata rasa mulas mulai sering kurasa. Akupun menyuruh cintaku untuk memberitahukan kepada mbak Dewi.

“Oh, belum begitu banyak kok lendir darahnya. Nunggu sebentar lagi ya.” Katanya.

“Mas ke ATM dulu ya.” Kata suamiku yang juga sedang sibuk mengurus pesanan kaos dan jaket.

Tak lama berselang, bu Arti datang dan memeriksaku.

“Oh udah bukaan enam, ya udah, dipindah dikamar sebelah aja ya.” Kata Bu Arti lembut dan sabar.

Aku pun dipindah ke ruang sebelah yang cukup luas dengan dua kasur didalamnya dan beberapa perlengkapan bersalin. Disuruhnya aku berbaring di kasur paling ujung sebelah selatan sembari menunggu bukaan sempurna. Sementara itu, ibu dan kakakku datang membawakan makanan kesukaanku, es buah, kurma Tunisia, dan salad buah. Suamiku mencoba memberiku semangat dan menyuapiku sesekali ketika kontraksi semakin sering aku rasakan.

“Mas bisa bantu apa?” Tanyanya sambil menyuapiku salad buah.

“Gak usah, bantu doa sama semangat aja.” Jawabku.

Aku teringat saat itu, beberapa bulan sebelum persalinan, aku sempat bercanda kepada suamiku untuk saling memberikan semangat.

“Pokoknya nanti mas yang teriak SEMANGAT, adek yang jawab Jeng, Jeng, Jeng, Jeng, Jeng.” Kataku sambil tertawa di kamar bersamanya.

Tapi sepertinya candaan itu sama sekali tak akan pernah jadi kenyataan mengingat rasa sakit yang aku alami saat itu benar-benar membuat tenaga dan rasa humorku turun drastis.

Sudah jam setengah lima sore. Bu Arti mencoba mengontrol kembali keadaanku. Dan, benar saja, sudah bukaan sempurna. Tinggal berpindah ke kasur persalinan yang berada disebelah selatan. Aku pun berbaring disana sambari dipegang dan dipeluk erat oleh sesosok pemimpin yang membuat hati dan jiwaku tenang. Kulihat air matanya mulai menetes.

“Udah, gak usah hiraukan mas. Mas gak apa-apa kok. Yang penting adek semangat ya.” Katanya mencoba menyemangatiku.

“Bu, nanti kalau saya nangis gak apa-apa ya.” Kataku ke bu Arti.

Aku memang agak lebay jika terluka sedikit atau mengeluarkan darah. Terkadang suka khilaf nangis untuk menghilangkan rasa sakit hehe..

“Oh gak apa-apa, bu Arti gak bakalan marah kok. Yang penting nanti ikuti aba-aba ibu ya. Kalau ibu bilang tarik nafas yang dalam, coba tarik nafas. Kalo ibu bilang tahan ya ditahan. Kalau ibu bilang miring ke kiri ya miring ke kiri ya.” Katanya.

Akupun mengangguk. Sembali berdzikir dan membaca apa saja yang aku bisa, aku mulai merasakan nyeri yang tak karu-karuan. Air ketuban yang terasa hangat pun mulai dipecah. Proses persalinan mulai benar-benar aku rasakan.

Setengah jam berlalu. Sang buah hati masih belum keluar. Untungnya aku masih punya cukup tenaga untuk menarik nafas. Bu Arti dan dua asistennya mencoba memberikan aba-aba sembari melihat jam yang terpasang di dinding sebelah utara. Tepat diatas kasur persalinan.

“Udah buka, yuk buka dulu. Mas buka dulu mas.” Kata bu Arti ditengah proses persalinan.

Aku pun ditinggal berbuka dan hanya ada satu asisten bidan yang menemaniku saat itu. Mbak Lusi, asisten bidan yang berwajah manis dan berbadan subur. Tak lama kemudian semuanya kembali.

“Udah berapa jam ya mbak?” Tanyaku.

“Udah satu jam.” Jawab mbak Dewi.

“Biasanya berapa jam?” Tanyaku penasaran.

“Macam-macam. Ada yang dua jam juga kok.” Jawabnya.

Saat itu aku berfikir ‘ternyata ada yang lebih lama’. Tak berapa lama, ibu dan keluargaku pun datang menjengukku, mereka mengira sang buah hatiku telah keluar, ternyata belum.

Ibuku pun mulai ikut manyemangatiku dan menemaniku sembari membantu mengangkatkan kepalaku saat aku harus menarik nafas dalam-dalam.

Hampir dua jam berselang. Sang buah hati tak juga keluar. Belahan hatiku pun segera membuka Al-Qur’an dan mencoba menenangkan hatinya dengan mengaji di ruang persalinan tersebut. Sedangkan Bu Arti, terlihat duduk lemas sambil menengadahkan kedua tangannya untuk berdoa agar persalinanku dimudahkan. Tambah lagi, mbak Lusi mencoba memeriksa detak jantung bayi dengan alat pendeteksi detak jantung. Dilihatkannya alat tersebut kepadaku yang menunjukkan detak jantung sang buah hati masih stabil. 129-130.

Masih ada harapan banyak. Aku harus semangat sampai nafas terakhirku. Pokoknya aku harus berusaha agar bayiku bisa keluar normal dan aku bisa merasakan betapa indah dan nikmatnya menjadi seorang ibu yang bisa melahirkan sang buah hati dengan normal. Tak lama kemudian, aku mencoba memaksakan diriku dan menarik nafas dalam-dalam. Akhirnya, suara teriakan seorang bayi terdengar sangat keras. Terlihat sekilas tangannya yang mungil terangkat keatas. Rasanya lega dan sangat senang ketika impianku menjadi seorang ibu terwujud. Ku peluk belahan jiwaku erat dan ku lihat sekilas si kecil yang terlihat putih dengan balutan handuk berwarna pink.

“Laki-laki apa perempuan bu bayinya?” Tanyaku

“Laki-laki” Jawab bu Arti sambil tersenyum.

Tak lama kemudian ibuku membisikkan sesuatu kepadaku.

“Pantesen lama, bayinya kalung usus.”

“Kalung usus itu apa?” Tanyaku penasaran 

“Terlilit tali pusar”

Padahal satu bulan sebelumnya aku sempat memeriksakan kandunganku dengan USG 4 dimensi di salah satu klinik ternama di kotaku dan tak ada masalah apapun. Tapi, ya sudahlah, toh hal itu sudah berlalu. Rasa sakitku pun hilang ketika melihat si kecil.

Kini, aku menyandang status baru sebagai seorang ibu, dan pendamping hidupku sekarang menyandang status ayah. Tanggung jawabnya semakin besar dalam memimpin keluarganya. Perlahan, aku pun mulai benar-benar menemukan dan melihat sosok ayah dalam dirinya. Kerja kerasnya siang malam dan tak kenal lelah dalam mengais rejeki hanya demi keluarganya menjadikannya sosok Superhero untuk sang buah hatiku.    

When you've been fighting for it all your life
You've been working every day and night
That's how a superhero learns to fly
Every day, every hour
Turn the pain into power

All the hurt, all the lies
All the tears that they cry
When the moment is just right
You see fire in their eyes

'Cause he's stronger than you know
A heart of steel starts to grow

When you've been fighting for it all your life
You've been struggling to make things right
That's how a superhero learns to fly
Every day, every hour
Turn the pain into power

-the script à superheroes-

Comments

Popular posts from this blog

I'm proud of my students ^_^

Are You Still on Fire?!?