Memori panas di bulan panas

Siapa sangka di bulan panas ini tak hanya memori manis yang melengkapi hariku, tetapi juga memori panas tak mau kalah untukmengikuti setiap langkah ku.

Memang, kehidupan itu selalu berputar, kadang di atas dan kadang di bawah. Kadang manis dan kadang pahit untuk dirasa. Tak ada derita yang abadi dan sebaliknya, tak ada kesenangan yang abadi pula. Sama seperti kehidupan kita di dunia ini, termasuk aku sendiri.

Awal bulan panas ini memang terasa manis banget, iya banget. Tapi dipertengahan bulan panas ini, hawa panas mulai menyerbu. Kejadian-kejadian panas mulai melengkapi hari-hariku.

Ketika Bimbel yang aku kelola sudah mulai libur, aku memutuskan untuk mengurus hal lain yang sedikit penting. Aku memulai petualangan baru ke Jogja-tempat paling fenomenal dalam hidupku-untuk bertemu sahabat karibku dan memberikan sebuah bingkisan berwarna pink untuk sahabat lainku yang sudah dikaruniai momongan.

Pertama kali aku menginjakkan kota itu setelah lama ku tinggal, aku memutuskan untuk singgah sementara di tempat sahabat karibku, Rizky namanya. Karena lama tak jumpa, kita pun ngobrol sana sini tak henti-henti. Setelah itu, aku mampir ke tempat sahabatku yang lain untuk memberikan bingkisan, eh ternyata tak ada satupun orang disana, terpaksa aku kembali ketempat Rizky dengan motorku yang semakin memburuk.

Setelah sampai kembali di tempat Rizky, aku menumpang istirahat sebentar selama beberapa menit untuk merebahkan tubuhku diatas kasurnya. Setelah matahari berada diatas kepala, aku memutuskan untuk bermunajat sebentar kepada Sang Khalik dan bersiap-siap untuk kembali ke tempat dimana aku mulai merasa tenang, Magelang. Rasa malas sepertinya mulai menghantuiku.

“Kok aku males banget buat balik Magelang ya. Rasanya pengen istirahat disini dulu agak lama.” Kataku kepada Rizky yang sedang siap-siap untuk berangkat mencari sesuap nasi.

“Ya udah disini aja Winda, nginep dulu aja biar gak capek.” Ujar Rizky.

“Pengen, tapi masih banyak yang harus aku urus. Hari ini aku juga ada rapat sama pimpinan.” Jawabku sedikit lemas.

“Aku kira Winda mau nginep sini. Kan biar bisa nemenin aku juga Winda.” Bujuk Rizky.

“Hemmm kapan-kapan aja deh kalo ada waktu luang. Hehe..” Jawabku sedikit malas.

Entah kenapa suasana saat itu benar-benar membuatku malas setengah mati. Ternyata eh ternyata... ditengah jalan motorku mati ti ti. Tak bisa dihidupkan sama sekali. Ada seorang laki-laki yang mencoba menolongku, tapi apa daya, dia juga tak bisa.

“Mbak, tak coba panggilin montir ya, ditunggu agak lama, nek montirnya gak kesini berarti gak mau.” Kata seorang laki-laki itu yang mulai menghidupkan motor bebeknya.

Karena aku tak suka menunggu terlalu lama, aku putuskan untuk menitipkan motorku sebentar dipinggir jalan dan mencari bengkel terdekat.

“Pak maaf, bisa benerin motor saya gak? Motor saya mati di perempatan lampu merah situ.” Tanyaku kepada seorang bapak-bapak yang sedang duduk santai di depan bengkel kecil tak jauh dari TKP alias tempat kejadian perkara.  

“Motornya apa mbak?” Tanya bapak-bapak tadi.

“M** pak.” Jawabku dengan wajah memelas kepanasan.

“Wah maaf mbak, nek M** gak berani saya, situ aja di dealer resminya. Deket kok tinggal belok kanan sampai.” Kata bapaknya terkesan menyerah seperti peserta uji nyali yang melambaikan tangannya ke kamera.

Akhirnya, aku buang rasa malu ku, dan ku mulai berjalan ke tempat yang harus aku tuju, Dealer resmi.

“Mbak maaf, motor saya mati di perempatan situ, bisa minta tolong dibenerin?” Tanyaku keringetan sambil ngos-ngosan kepada mbak-mbak yang jaga dealer.

“Emmm sebentar ya mbak, pegawainya lagi pada sibuk e.” Jawab mbak berambut coklat panjang rebonding.

“Lama gak mbak?” Tanyaku dengan wajah sedikit mengancam.

“Gak tau mbak, kayaknya lama.” Jawabnya dengan wajah sedikit menyebalkan.

Aku pasang tampang wajah yang tak kalah menyebalkan. Aku duduk di tempat duduk yang berada di depan meja resepsionis, ku pasang headset dan kutelpon orang tua untuk mengabari keadaanku. Secara pulsa habis, baterai juga tinggal 5%.

Tak berapa lama, ada seorang bapak-bapak yang mendekatiku dan menanyakan keperluanku. Aku pun menjawabnya dengan sedikit lemah lembut.

“Oh, ya harus segera diambil sekarang motornya. Mana nih pegawainya?!” Kata bapaknya bergegas.

“Tapi lagi pada sibuk semua.” Mbaknya mulai.

“Hah selain sebentar buat ambil motor, dari pada nanti kelamaan malah tambah parah keadaan motornya. Ayo, ambil motornya.” Bapaknya bagai pahlawan berkuda poni hehe..
Akhirnya beberapa pegawai mulai mengambil motorku.

“Ini kuncinya.” Kataku ke seorang pegawai yang akan memperbaiki motorku.

Aku pun disuruh menunggu di ruang tunggu yang telah disediakan dengan diberikan sebotol teh dingin yang sedikit menyegarkan dipanas terik.

“Mbak maaf, ini keadaan motor mbak ternyata sedikit parah. Banyak komponen yang harus diganti karena rusak dan retak-retak.” Kata seorang pegawai yang menghampiriku di ruang tunggu.

“Emang apa aja yang harus diganti? Trus di total semuanya berapa? Tolong hitungin ya?” Tanyaku mendetail sembari berfikir dan menghitung uang yang aku bawa.

“Oh iya mbak, bla bla bla bla dan semuanya tiga ratus delapan ribu rupiah, itu belum sama koplingannya, kalau sama koplingannya bisa satu jutaan.” Jelas pegawai dealer dengan watados alias wajah tanpa dosa.

“Hah??!! Tolong diminimalisir apa yang harus saya ganti sekarang dan apa yang bisa saya tunda. Kalo bisa biayanya dibawah dua ratus lima puluh ribu karena saya juga butuh makan.” Kataku mendikte dan mulai memelas.

“Oh iya mbak, kalo diminimalisir sekitar dua ratus lebih dikit. Bagaimana?” Kata pegawai masih dengan watadosnya.

“Ya udah gak pa-pa,, tapi ada atm terdekat gak disini?” Tanyaku dengan wajah mulai bingung.

“Ada mbak, agak jauh, nanti mbak bisa pakai motor saya buat ambil uangnya. Ini kuncinya.” Kata pegawai bagai pahlawan kesiangan.

“Oh ya udah, makasih ya, saya ambil uang sebentar.” Kataku yang bergegas langsung ke atm.

Habis sudah uang sisa hasil upah menulisku tiga bulan yang lalu. Aku tak bisa lagi mengambil uang sepersen pun disana. Sudahlah, ku coba nikmati setiap peluh yang menetes.

Berjam-jam sudah aku menunggu. Adzan Ashar sudah berkumandang sangat lama. Waktu sudah menunjukkan pukul empat lebih tapi motorku tak juga kunjung selesai.

“Mbak ada tempat sholat gak disini?” Tanyaku kepada mbaknya.

“Gak ada mbak.” Jawabnya dengan wajah sok manis.

“Lha kalo masjid di sekitar sini ada gak?” Tanyaku dengan wajah yang mulai kucel.

“Agak jauh mbak, di kampung sebelah, nyebrang jalan dulu.” Jawabnya.

“Ya udah gak pa-pa, makasih ya mbak.” Kataku.

Aku berjalan kearah dimana motorku mati, terus dan terus sampai bertemu dengan bapak-bapak yang masih setia duduk di depan bengkel kecilnya. Aku tanyakan kepada beliau dimana masjid terdekat.

“Oh masih lurus trus ada belokan, masjidnya di belakang rumah.” Jelas beliau.

Rasanya kaki mulai lemas, badan mulai mati rasa. Aku cari masjid yang ku tuju. Akhirnya ku temukan. Ku ambil air wudhu yang menyegarkan, ku basuh semua bagian, ku khusyukkan doaku kepada-Nya. Ku masuki tempat suci dan mencari mukena yang bisa ku pakai. Ku panjatkan doa dan terakhir, untuk menenangkan pikiranku, ku buka beberapa lembar kitab suci yang kubawa. Tak berapa lama, aku kembali ke dealer.

“Motor saya masih lama?” Tanyaku ke mbaknya.

“Seperempat jam lagi kok mbak.” Jawabnya.

Benar saja, tak lama kemudian motorku selesai. Aku harus segera kembali ke Magelang dan melewatkan rapatku dengan pimpinan. Ku  mulai kebut motor tua, dan ku salip beberapa truk dan kendaraan besar. Rasanya sudah tak karu-karuan, aku harus segera sampai di kost sebelum langit benar-benar gelap karena penglihatanku yang tak bagus di malam hari.

Akhirnya, sampai juga di kost setelah iqomat magrib berkumandang. Ku rebahkan sebentar badanku diatas kasur, ku bersihkan semua debu dan kotoran yang menempel di badanku, dan ku lanjutkan ibadahku. Semoga memori panasku berakhir hari itu juga. Ternyata tidak.

Bersambung,,
Peacefull boarding house
June 25, 2014
9 pm.

Comments

Popular posts from this blog

I'm proud of my students ^_^

Are You Still on Fire?!?