Manusia-Manusia Sosial*

“Ting...!!” Dering suara handphone berbunyi nyaring tanda sebuah pesan singkat masuk.
“Kawan-kawan, diharap kedatangannya di kantor besok jam 10 pagi untuk syawalan dan perpisahan relawan Ramadhan.” Pesan singkat dari Satria, ABG tinggi dengan rambut ikal yang baru lulus SMA dan akan melanjutkan studinya di sebuah akademi militer di Kota Sejuta Bunga, Magelang.
“OkOK.. In sya’ Allah aku usahain datang.” Balasku yang saat itu tengah selesai mengajar beberapa siswa kelas enam yang super aktif.
Seketika, aku mulai menyandarkan badanku diatas kursi empuk yang berada di lobi bimbel dimana aku mengajar dan mengabdi. 
“Gimana ngajarnya mbak hari ini?” Tanya Neni, admin baru bimbel yang masih dalam masa training. 
“Hemmm luar biasa, suaraku hampir habis kalau kebagian ngajar mereka.” Jawabku sembari memaskukkan handphone touchscreen putihku kedalam saku dan menarik sebuah buku besar yang bertuliskan “Jadwal Tentor”. 

“Eh besok aku berangkat agak siang ya, ada acara jam 10. Mbak berani kan aku tinggal sebentar?” Kataku sambil mengisi kegiatan tutor hari ini di buku besar berwarna biru yang baru saja aku dekatkan kearahku.

“Ada acara apa mbak? Tapi jangan lama-lama ya mbak. Aku masih bingung tugas-tugas admin disini. Kalau mbak Rivena gak ada disini, aku takut nanti gak bisa njelasin semua tentang bimbel ke orang yang mau daftar.” Pinta Neni terkesan khawatir. 

Dia memang admin baru di tempat aku mengajar. Sebagai kepala cabang, aku harus ikut aktif membimbingnya tak hanya untuk mendata dan mencatat semua administrasi bimbel, tetapi juga memberikan informasi dan pelayanan kepada pengunjung yang ingin bertanya lebih detail tentang program bimbel. Maklum, bimbel yang aku kelola bukan termasuk bimbel dari instansi ternama manapun, melainkan hanya bimbel perorangan yang sudah memiliki beberapa cabang. Dan aku harus mengurus dan mengatur cabang bimbel yang belum ada satu tahun berdiri ini. 

“Ada acara syawalan sama perpisahan relawan Ramadhan mbak. Jangan khawatir, besok aku usahain habis Dzuhur udah sampai sini.” Jawabku sambil melemparkan senyum.

Lega mendengar jawabanku, Neni pun ikut tersenyum ringan dengan pipi tembem yang selalu menempel membuat wajahnya yang terlihat bulat semakin bulat. Kami pun segera bersiap-siap membereskan dan menata barang-barang di bimbel dan pulang ke tempat kediaman masing-masing.

Aku, sebagai anak rantuan pastinya pulang ke kost. Di kota Sejuta Bunga ini, aku memutuskan untuk tinggal menyendiri di kost tua yang hanya berpenghuni satu orang.

“Assalammu’alaikum...” Sapaku ketika memasuki pintu gerbang kost tua yang aku huni.

“Wa’alaikumussalam mbak Rivenaaa!!” Suara teriakan tiga anak kecil yang masih menginjak sekolah dasar. Suara tersebut terdengar lebih kencang dari suaraku. Mereka semua anak perempuan dari ibu kost yang rumahnya berada tepat didepan kamarku. Tanpa mereka, mungkin kost yang hanya berpenghuni seorang perempuan kepala dua ini akan terasa sunyi senyap. Dan suara-suara merekalah yang sering membuat suasana di kost ini terasa sangat ramai dan lebih hidup.

Aku pun segera menuju pintu kamarku yang berwarna putih dan kubuka pintu itu dengan sebuah kunci kuno. Setelah pintu terbuka, aku pun segera merebahkan badanku diatas kasur berukuran single dengan sanggahan dipan kayu tua berwarna coklat gelap.

“Ting..!!”

Tanda pesan singkat masuk berdering nyaring di handphone pintarku.

“Mbak Rivena, besok ikut syawalan tho? Bareng ya? Aku kangen nih sama teman-teman relawan.” Pesan dari Fatim, partner kerjaku sebelum ia dipindahkan di cabang lain dan digantikan oleh Neni.

“Iya, pasti. Ketemuan di depan kantor ya.” Balasku singkat sembari tersenyum kecil mengingat masa-masa indah di bulan yang penuh Rahmat tahun ini, apalagi kalau bukan bulan Ramadhan.

Bayangan dan pikiranku pun mulai melayang-layang mengingat masa-masa indah dan luar biasa itu. Ingatan-ingatan menjadi manusia sosial pun kembali menghinggapi pikiranku.

Njenengan ini kepala cabang bimbel lho. Kok mau sih jadi relawan?” Tanya seorang manajer lembaga zakat tempat dimana aku memulai belajar menjadi manusia sosial.

“Ada beberapa alasan yang mendorong saya untuk merelakan waktu dan tenaga saya menjadi relawan disini. Pertama, karena bimbel yang saya kelola selama bulan Ramadhan ini libur penuh, jadi saya juga punya kebebasan penuh selama bulan Ramadhan. Kedua, saya tertarik untuk bersosialisasi dan ikut aktif dalam kegiatan positif mengingat saya sejak kuliah memang sudah aktif berorganisasi.” Balasku dengan optimis sembari memamerkan senyum keramahan.

“Nanti disini njenengan bakal jaga gerai di beberapa pusat perbelanjaan, muter-muter ambil donasi, dan bantu-bantu program disini. Fee-nya pun mungkin gak sesuai sama njenengan” Jelasnya terkesan mengetesku.

“Oh tidak apa-apa pak, yang penting selama bulan Ramadhan ada kegiatan positif dan bermanfaat. Jika kita bisa bermanfaat bagi banyak orang, kenapa tidak dicoba dan dijalani?” Jawabku optimis tanpa basa-basi.

Pak Ahmad hanya bisa mengangguk-anggukan kepalanya sambil tersenyum.

“Kalau memang benar-benar sudah siap, njenengan bisa tanda tangan kontrak sebagai relawan amil zakat selama bulan Ramadhan ini, silahkan dibaca dengan seksama.” Pintanya sembari menyodorkan selembar kertas berwarna biru yang bertuliskan beberapa pasal-pasal didalamnya.

Akupun segera menandatangani perjanjian yang akan berakhir di akhir bulan Ramadhan ini. Dengan senyum optimis, aku memulai tugas utamaku sebagai relawan, apalagi kalau bukan menjaga gerai dan mencari donatur.

Tapi, sebelum menjaga gerai dan memulai langkah awal, aku dan rekan relawan lain dibimbing terlebih dahulu oleh seseorang ikhwan berkepala dua yang terkesan sangat ramah, lembut, dan murah senyum, Bayu namanya.

Well, kita bisa mulai kegiatan awal kita dengan menjaga gerai di empat pusat perbelanjaan yang sudah tertera di jadwal. Kemudian nanti kalian juga akan ditugaskan untuk mengambil donasi, dan juga kalian harus ikut aktif membantu program lembaga zakat ini selama Ramadhan. Gak usah dipikir berat-berat. Dijalani seikhlasnya karena Allah dan jangan lupa, doakan orang-orang yang telah berdonasi. Itu merupakan senjata untuk kita.” Jelas mas Bayu dengan ritme pelan.

Kami semua mengangguk tanda paham dan menyetujui semua tugas-tugas yang harus dijalankan. Ada sembilan relawan amil zakat di bulan yang penuh hikmah ini, termasuk aku. Empat dari sembilan relawan tersebut merupakan para pengajar dan admin di bimbel yang aku kelola, termasuk aku. Bagaimana tidak? Aku, Fatim, dan Ayu mendapatkan informasi relawan ini dari Awan, salah seorang tutor bahasa Inggris yang mengajar di cabang yang aku kelola. Lima relawan lain terlihat masih ABG dan baru saja menyelesaikan pendidikan di bangku sekolah menengah atas.

“Wah hari ini aku dapet jadwal jaga gerai sama Satria.” Kataku sembari memegang dan melihat selembar kertas bertabel warna-warni dan berjudul “Jadwal Kegiatan Ramadhan 1435 H.”

“Aku disini mbak, tapi nanti aku jaganya siang mbak. Aku kebagian shift siang” Jawab Satria sambil mengacungkan jari tangannya. Sebenarnya, tanpa mengacungkan jarinya pun aku sudah melihatnya dengan badan tinggi yang sedikit terlihat kurus itu.

“Oh iya, berarti aku berangkat ke gerai dulu ya. Apa aja nih yang harus aku bawa mbak?” Tanyaku ke mbak Putri, karyawan bagian keuangan yang merupakan kakak kandung dari Satria.

“Emmm,, tabungan peduli udah bawa belum? Brosur? News letter? Jadwal imsakkiyah? Buku panduan zakat?” Jawab Putri sembari berfikir sebentar dan melirikkan matanya kearah monitor besar didepannya.

“Emmm sepertinya udah semua mbak. Oke aku berangkat ke gerai sekarang.” Kataku girang dengan semangat 45.

Tak berapa lama aku pun sampai di tempat tujuan. Aku tata semua perlengkapan yang telah aku bawa. Dengan memberanikan diri, aku sapa beberapa ibu-ibu yang telah selesai berbelanja.

“Permisi ibu, boleh minta waktunya sebentar? Saya dari lembaga zakat ingin menyebarkan brosur program kami selama Ramadhan, jika ibu berkenan untuk menyalurkan zakat atau ikut berdonasi dalam kegiatan Ramadhan kami, ibu bisa datang ke gerai kami di depan.” Sapaku sambil menyodorkan selembar brosur berwarna biru.

Banyak dari mereka mau menerima brosur dengan senyum terpasang, tapi tak jarang pula yang berpura-pura tak mendengar aku bicara sembari memalingkan muka dan memamerkan lima jari tangannya tanda menolak.

Awal melangkah memang terasa berat. Tak ada satupun donatur yang datang dan menyumbangkan sebagian rejekinya. Maklum saja, lembaga amil zakat ini memang lembaga besar hingga ke beberapa negara luar, tapi bagi penduduk Magelang ini, lembaga sosial yang baru satu tahun mendirikan cabang disini masih terasa sangat asing.

“Mbak, kok aku jenuh ya? Ternyata pekerjaannya cuma kaya gini, resign aja pho ya?” Kata Fatim lewat BBm.

“Jenuh gimana? Aku masih enjoy nih. Trus kalo mau resign, berarti kita cuma di rumah? Duduk, nonton TV, smsan, FBan, nunggu buka, habis itu tidur-tiduran?” Balasku setelah istirahat dan bermunajat di sebuah masjid kecil ditengah perkampungan. Maklum saja, pusat perbelanjaan tempat aku menjaga gerai saat ini hanya memiliki tempat sholat kecil dengan tempat wudhu terbuka, sangat tak biasa untukku yang terbiasa tertutup rapat dengan jilbab segi empat agak besar dan gamis longgar.

“Jenuh soalnya cuma jaga gerai doang. Capek e promosi sana sini gak ada yang respon. Tapi, kalo dipikir-pikir emang bener sih mbak, kalo di rumah cuma kluntang-klantung gak jelas.” Balas Fatim.

“Ya, makanya dijalani dulu aja. Lagian ini kan cuma satu bulan doang. Kalo bosen kan bisa jalan-jalan lihat baju, sepatu atau yang lain,, J.” Kataku mencoba memberikan semangat.

Benar saja, tak berapa lama aku kembali menjaga gerai, ada seorang perempuan muda yang bertanya-tanya tentang program Ramadhan. Dan setelah itu, dia merogohkan tangannya kedalam tas kecil yang dibawanya dan mengeluarkan uang lembaran berwarna biru tua.

“Ini mbak, untuk donasi paket ifthar.” Katanya ramah.

“Oh iya mbak, saya catat dulu... ini tanda buktinya.” Kataku sedikit gugup karena baru pertama kali.

Tak berapa lama, setelah donatur itu pergi, aku teringat akan doa yang pernah dijelaskan oleh mas Bayu. Aku lupa mendoakan donatur, entah donatur tersebut mau mendonasikan uangnya lagi atau tidak. Yang jelas saat itu perasaanku tak karuan bercampur rasa senang karena aku berhasil mendapatkan satu mangsa dan rasa sedih karena aku lupa mendoakannya.

“Ingat, kalian disini juga ditarget lho. Kalau bisa satu hari dapat donasi minimal tujuh puluh lima ribu. Dan jangan lupa juga mendoakan para donatur karena sejatinya doa itu yang banyak ditunggu dan diharapkan sama mereka.” Suara mas Bayu yang masih terngiang di telingaku.

Dengan sedikit lemas, aku pun duduk merenung hanya karena lupa mendoakan donatur.

Tak berapa lama, seorang yang berbadan tinggi calon tentara pun datang.

“Gimana mbak hari ini? Udah dapet donatur? Eh sekarang ada buka bersama anak yatim tho di hotel. Mbak Rivena udah ditunggu di kantor buat koordinir anak yatim di Tempuran.” Sapa dan jelas Satria sembari membuka dan melepaskan jaket besarnya yang berbahan jeans.

“Hemmm alhamdulillah dapet satu donatur, dia donasi lima puluh ribu tadi. Tapi aku lupa baca doa ke dia.” Jawabku lemas.

“Halah mbak, santai aja, gak usah dipikir berat-berat. Relawan lain juga gak pake doa kok. Cuma baca tulisan yang ada di notanya itu. Itu kan juga udah termasuk doa. Udah siang, buruan ke Tempuran mbak, udah ditunggu katanya.” Saran Satria yang benar-benar terkesan cuek.

Tak berapa lama, aku pun segera meluncur ke tempat tujuan untuk mengkoordinir beberapa anak yatim yang akan melangsungkan berbuka puasa bersama di hotel ternama di kota ini. Karena tak kenal arah dan daerah, aku pun sempat kesasar.

“Pak, Tempuran desa Giri Rejo dimana ya?” Tanyaku bingung kepada seorang laki-laki separuh baya.

“Oh disana mbak, mbak balik arah, nanti ada pertigaan jalan besar belok kanan, lurus dikit setelah jembatan ada pertigaan kecil ke kanan. Mbak belok kanan nanti ketemu desanya.” Jawabnya panjang lebar dengan intonasi sedikit cepat dan membuatku harus bertanya ulang kepada orang lain di jalan yang membingungkan.

Dengan peluh menetes, aku lanjutkan perjalanan mencari tempat yang aku tuju. Dan akhirnya aku temukan tempat itu. Tak berapa lama, koordinator dari Tempuran mulai mengkoordinir 33 anak yatim dengan kriteria yang telah ditentukan.

“Mari mbak, sama saya, mau ikut di Elf atau yang Xenia?” Tanya Bu Puji, selaku koordinator anak-anak yatim di daerah Tempuran tersebut.

“Oh saya pakai sepeda motor bu, nanti saya ngikut dari belakang saja. Soalnya saya disini cuma memastikan jumlah anak, mengabsen dan memantau mereka.” Jawabku asal-asalan.

Bagaimana tidak? Belum ada satu minggu aku berada di lembaga ini, aku sudah disuruh mengkoordinir kegiatan Ramadhan yang aku sendiri tak tahu bagaimana teknisnya.

Tak berapa lama, aku pun melaju mengikuti dua mobil yang ada didepanku. Sesampainya di hotel, aku harus memarkir motorku di tempat parkiran motor yang aku sendiri tak tahu jalannya.

“Maaf mbak, mbak ikut rombongan ini? Silahkan parkir motornya di belakang.” Kata security muda yang saat itu memakai baju koko putih dan celana kain hitam sembari menggenggam sebuah handy talky.

Aku hanya mengangguk dan membenarkan kaca helmku. Seketika aku melaju mencari jalan untuk memarkirkan motorku. Didepan pintu masuk parkiran, seorang security muda menghadangku.

“Mbak, maaf, motor gak boleh lewat sini. Lewat sana mbak. Balik arah.”

Astaghfirullah.. mimpi apa aku hari ini? Batinku tak karu-karuan. Aku pun segera berbalik arah dan mencari tanda dimana aku harus memarkir motor matic tua yang berwarna biru yang telah menemaniku selama bertahun-tahun ini.

Sesampainya ditempat parkir, aku masih harus menjinjing dua plastik putih besar berisikan lembaran brosur, gulungan jadwal imsakkiyah dan beberapa pack buletin. Cukup lama berjalan menuju lobi hotel, seorang doorman mendekatiku dan menawarkan bantuannya.

“Maaf mas, kegiatan buka bersama anak yatim di ruang mana ya?” Tanyaku ngos-ngosan.

“Oh di lantai satu mbak, mari saya bantu bawakan dan saya antar.” Jawabnya dengan ramah.

“Anak yatim yang dari Tegal Rejo sudah sampai sini juga belum ya, mas?” Tanyaku penasaran. 

Pasalnya aku dan Lisa adalah relawan yang bertugas mengkoordinir anak yatim dari beberapa daerah. Aku kebagian mengkoordinir di daerah Tempuran, dan Lisa mengkoordinir di daerah Tegal Rejo.

“Oh sudah mbak, sudah dari tadi.” Jawabnya.

Aku cuma mengangguk-anggukkan kepalaku sebagai tanda merespon.

“Disini mbak ruangannya. Ini barangnya bisa ditaruh dimana ya mbak?” Tanyanya sedikit bingung.

“Oh iya terima kasih, sini, biar saya bawa masuk saja.” Balasku sembari melemparkan sedikit senyum.

Aku pun tak lupa menyalami beberapa perwakilan manajemen hotel yang telah setia berdiri di depan ruang ballroom berukuran cukup luas yang akan dipakai sebagai tempat kegiatan buka bersama yatim.

Akhirnya, kegiatan buka bersama anak-anak yatim di hotel ternama itu pun selesai dengan khidmat, walaupun dari pihak lembaga zakat sendiri sempat kebingungan mencari dan mendata anak-anak yatim.

“Ayo baris yang rapi, berhitung ya dek.” Pintaku untuk mengecek ulang jumlah anak yatim ketika mereka akan kembali ke tempat masing-masing.

Alhamdulillah tak ada yang kurang dan tak ada yang lebih. Aku lega. Aku juga bersyukur karena kegiatan luar biasa ini berjalan lancar dan spesial dengan menu buka puasa yang menyegarkan, mengenyangkan, dan bikin ketagihan.

Satu kegiatan terselesaikan. Masih ada beberapa kegiatan yang mengantri, dan para relawan yang kebagian shift pagi lah yang harus ikut aktif membantu kelancaran program-program lembaga. Pasalnya ada dua shift dalam kegiatan Ramadhan kali ini. Shift pagi dengan jadwal jam delapan hingga jam lima sore, dan shift siang yang dimulai dari jam dua belas hingga jam delapan malam. Sedangkan gerai tidak boleh kosong. Jadi sasaran utama relawan yang harus ikut berpartisipasi menjalankan program Ramadhan adalah relawan yang kebagian shift pagi.

Selang beberapa hari, aku kebagian shift siang dan Ayu kebagian shift pagi. Dan kali ini rekan jaga geraiku adalah dia, seorang perempuan muda yang pintar lulusan sebuah universitas negeri di Yogyakarta.

“Mbak Rivena, udah jam empat nih, aku tinggal gak apa-apa kan mbak?” Katanya terkesan sedikit takut.

“Hemmm gak apa-apa kok, mau tebar takjil di jalan Sudirman ya? Semangat mbak.” Balasku dengan memamerkan senyum dan semangat 45.

“Iya mbak, makasih.” Jawabnya sambil menata dan menyiapkan semua keperluannya dan segera meluncur ke tempat tujuan.

Sementara aku, masih duduk manis di gerai dan bersiap mencari mangsa lagi. Memang sedikit jenuh ketika harus standby menjaga gerai tanpa adanya orang yang rela berpartisipasi. Aku hanya bisa berpasrah kepada Sang Kuasa dan berdoa setiap hari semoga aku bisa mendapatkan banyak donatur. Kenyataannya, aku masih harus bersabar dan wajib bersyukur karena masih ada juga relawan lain yang belum mendapatkan donatur sama sekali.

Keesokan harinya, aku masih menjaga gerai bersama Ayu. Kami berbincang-bincang kesana-kemari berbagi pengalaman mengajar di cabang masing-masing. Tak hanya masalah mengajar, dia juga sempat bercerita tentang pengalaman menyebar takjil kemarin sore.

“Tahu gak mbak? Kemarin tuh karena aku gak mau nyebarin takjil, aku jadi kebagian bawa dan angkat rontek tepat di bawah lampu merah. Malu banget mbak. Tahu gitu kemarin aku nyebar takjil aja.” Kata Ayu sambil memanyunkan bibirnya.

“Masak? Lha sebelumnya mbak Ayu gak tahu pho kalau gak nyebarin takjilnya bisa kebagian bawa rontek?” Tanyaku penasaran.

“Aku gak tahu mbak. Soalnya aku takut kalo nyebar takjil, nanti pas udah lampu hijau aku kenapa-napa. Ehhh malah ternyata kebagian bawa rontek bertulisakan nama lembaga dan program tebar takjil gedhe banget. Dibawah lampu merah tepat pula, pas zebra cross di depan semua orang yang berhenti kena lampu merah. Kan malu banget.” Jelasnya panjang lebar.

Aku cuma bisa tertawa ringan agar tak terkesan mengejeknya.

“Hehe... buat pengalaman misal besok ada tebar takjil lagi gak usah nolak kalo disuruh nyebarin takjilnya. Berarti tiga hari lagi ya? Tebar takjil kan seminggu dua kali tho? Besok giliranku ya?” Tanyaku sambil melihat jadwal kegiatan dengan seksama.

“Iya mbak. Pokoknya jangan mau kalau disuruh bawa rontek.” Tegasnya masih dengan bibir ditekuk.

Aku cuma bisa mengangguk-anggukan kepala sembari tertawa ringan.

Benar saja, beberapa hari kemudian, aku memang kebagian ikut aktif dalam kegiatan tebar takjil.

“Pokoknya aku gak mau bawa rontek yaa,, hehe..” Kataku diawal sebelum semua meluncur ke tempat tujuan.

“Waahhh mbak Rivena pasti udah diceritain mbak Ayu kemarin.” Kata Bintang, ABG tinggi besar yang juga teman Satria dan calon tentara.

Aku cuma bisa memamerkan senyum sambil mengangkat beberapa kardus berisikan takjil gratis untuk dibagikan.

Benar kiranya, karena keberatan membawa rontek, aku kebagian menyebar takjil ke para pengendara mobil, motor, dan angkutan lain yang sempat berhenti. Sebagian orang menolak diberi takjil gratis karena takut, sebagian lagi malah dengan senang hati meminta takjil gratis tersebut, terutama para sopir.

“Itu apa mbak? Saya minta dua boleh gak mbak?” Tanya seorang supir angkot yang masih kosong.

“Takjil gratis pak, oh boleh sekali pak. Ini takjil gratisnya.” Jawabku dengan nada tinggi.

Tak ada setengah jam berada di lokasi, semua takjil sudah habis. Saatnya pulang ke tempat kediaman masing-masing. Dan satu hal yang benar-benar tak boleh dilupakan dan dilewatkan. Foto dulu sebagai dokumen penting.

Dua kegiatan berjalan lancar, masih ada beberapa kegiatan yang sudah mengantri. Salah satunya mujadahan bersama anak-anak yatim. Mujadahan pertama diadakan di kantor. Dan seperti biasa, relawan yang bertugas shift pagi yang pasti harus ikut membantu kelancaran program Ramadhan.

“Rivena, nanti kamu jadi MC ya.” Pinta mbak Umi, karyawan bagian pendayagunaan dan juga pengantin baru yang baru saja divonis mengandung oleh dokter.

“Lhaa,, aku gak bisa mbak. Yang lain aja deh.” Aku mencoba menolak.

“Enggak, kamu aja ya. Nanti kamu bisa browsing lewat internet tuh.” Balasnya kekeuh.

Yah, willy nilly, mau gak mau aku harus mencari beberapa contoh pidato MC.

Ketika kegiatan dimulai, sampailah pada saat dimana aku harus menyambut para tamu, manajer, dan semua rekan-rekan yang terlibat.

“Baiklah, sambutan pertama kami persilahkan kepada Ketua RT, bapak Pardi. Kepada bapak Pardi, kami persilahkan.” Tanpa berdosa aku mempersilahkan bapak tersebut yang ternyata seorang Ketua RW.

“Mbak,, itu bapak RW mbak, pak RW.” Jelas beberapa orang disekitarku.

Dengan wajah dan nada bingung, aku hanya bisa menengok kanan dan kiri sampai akhirnya aku tersadar.

“Oh iya maaf, maksud saya bapak RW.” Sambungku sambil menggaruk-garuk kepala dan tersenyum kecut.

Mimpi apa lagi aku ini. Kok bisa aku dijadikan MC dadakan yang aku pun sudah lupa rasanya jadi MC. Banyak kesalahan sana-sini selain salah menyebutkan kedudukan, sambutan-sambutan dari semua orang yang tak aku berikan ucapan terima kasih, belum lagi kepada pak ustadz yang mengisi acara yang benar-benar tak aku sambut sama sekali membuat pamorku sebagai kepala cabang sebuah bimbel turun drastis.

Tapi untunglah, acara berjalan lancar dengan tamu undangan yang membludak dan membuat konsumsi kurang puluhan kotak.

“Haahh??? Kurang berapa ini? Snacknya kurang juga? Haduh, ayok nyebar beli konsumsi lagi.” Kata mbak Umi bingung.

Kami semua dan beberapa anak yatim sampai menunggu agak lama hanya untuk menunggu beberapa konsumsi yang kurang. Sembari menunggu, kami pun mendirikan sholat magrib terlebih dahulu secara berjama’ah di musholla kecil dekat kantor. Setelah selesai, konsumsi tambahan pun datang dengan menu yang benar-benar berbeda.

“Dapatnya ini gak apa-apa ya. Aku udah nyari muter-muter cuma dapet gudeg sama ayam.” Kata mbak Eka selaku bagian keuangan.

“Iya gak apa-apa, ayok dibagi.” Jawab mbak Umi masih dengan wajah bingung.

Setelah semua selesai, kami pun duduk-duduk sebentar bersama.

“Hehehe.. Di acara ini, kalian kelihatan banget masih seperti anak-anak.” Kata pak Ahmad selaku manajer yang sudah mempunyai dua momongan.

Terlalu asyik dengan program Ramadhan membuatku lupa akan donatur-donatur yang harus aku cari. Pasalnya, selain mujadahan, tebar takjil, dan buka bersama anak yatim, masih ada kegiatan besar yang harus dijalankan. Belanja bareng anak-anak yatim di tiga pusat perbelanjaan. Dan beruntungnya, aku selalu mendapatkan jatah untuk ikut aktif dalam acara besar tersebut.

“Rivena, pokoknya kalo gak ada MC, kamu yang harus jadi MCnya ya.” Paksa mbak Umi selaku penanggung jawab program Ramadhan besar ini.

“Lha kok aku mbak, wah nanti salah lagi. Malu aku.” Jawabku kaget.

“Gak apa-apa, kemarin salah, nanti kan udah enggak.” Balasnya yang masih sibuk wira-wiri.

Benar saja, akhirnya aku pun harus memberanikan diri menjadi seorang MC yang amatiran. Rasa takut masih menghantuiku saat itu sebenarnya, tapi entah kenapa Allah memberikan keberanian dan kelancaran kepadaku sehingga aku bisa benar-benar membawakan acara dengan menarik. Dan untungnya semua benar-benar berjalan dengan lancar plus tambahan hiburan dari sekelompok pemuda muslim yang sempat menyanyikan beberapa lagu.

“Eh besok juga ada belanja bareng yatim lagi di pusat perbelanjaan lain. Siapkan diri kalian ya.” Kata mbak Umi mengingatkan

Tiga minggu sudah aku berkutat dengan kegiatan-kegiatan Ramadhan diluar menjaga gerai. Beberapa relawan sudah mengantongi banyak uang, dan sebagian lagi masih menunggu datangnya keajaiban. Termasuk aku.

“Rivena, kamu jadi MC lagi ya. Sana diisi dulu. Pak Ahmad belum datang, sama manajemen pusat perbelanjaannya masih ngurus yang lain. Ini anak-anak udah pada nunggu dari tadi. Diisi apa aja terserah kamu.”

Pinta mbak Umi masih dengan wajah bingungnya. Aku tahu perasaan dan pikirannya sedang penuh dengan tanggung jawab kegiatan Ramadhan yang menyangkut namanya. Aku hanya berharap semoga semua yang aku lakukan disini bisa membantu meringankan beban-beban mereka, siapapun.

“Assalamu’alaikum adek-adek. Gimana kabarnya nih? Seneng gak kalian mau belanja disini? Pastinya seneng dong. Nahh sambil menunggu, yuk bareng-bareng kita hafalan surat-surat pendek. Sudah hafal belum?” Aku mencoba membuat suasana tak membosankan dan mencari alternatif lain

“Emmm sekarang ngapain lagi ya adek-adek? Oh iya, yuk sekarang tepuk anak sholeh. Sudah bisa semua kan?” Tanyaku dengan memasang wajah ramah.

Suasana yang tadinya menjenuhkan sekarang terlihat sedikit lebih hidup, tak hanya dengan melakukan tepuk anak sholeh, tetapi juga dengan menyanyikan beberapa lagu dengan gerakan-gerakan yang membuat mereka aktif dan gembira.

“Nah, karena semuanya sudah siap, sekarang adek-adek bisa berbelanja didampingi kakak-kakak yang pake rompi biru. Jangan lupa tarik bibir ke kanan tiga senti, ke kiri tiga senti, trus bilang chiiiissss (cheese),,” Candaku untuk mencairkan suasana.

Senang rasanya bisa menjadi bagian dari manusia-manusia sosial di bulan yang penuh Rahmat ini. Soal donatur, aku sudah tak begitu mempedulikannya, yang jelas, aku berniat untuk bisa membantu dan melihat senyum-senyum mereka kembali.

Empat hari terakhir berjalan, beberapa relawan jatuh sakit dan meminta ijin untuk beristirahat di rumah. Aku paham keadaan mereka yang memang merupakan pengalaman baru bagi mereka yang baru saja lulus sekolah menengah atas.

“Mbak Rivena, kok kepalaku berat banget ya. Pusing e.” Kata Yaya, ABG kalem berkulit putih dan berparas rapi.

“Lha udah minum obat belum? Mending besok kalo masih sakit bisa ijin dulu aja deh. Pasti kecapekan itu.” Saranku yang terlihat cukup sedih ketika tahu beberapa relawan harus mengalami penurunan stamina.

Yaya hanya bisa mengangguk ringan dengan mata sayu dan wajah pucat.

Ternyata benar, tiga hari terakhir berturut-turut aku menjaga gerai sendiri di shift pagi karena Yaya sebagai partnerku menjaga gerai jatuh sakit dan butuh istirahat cukup di rumah. Aku hanya bisa berdoa semoga semua rekan relawan diberikan kesehatan dan kesembuhan agar bisa kembali aktif lagi. Tanggung, tinggal tiga hari lagi.

“Mbak ini apa ya? Bisa bayar zakat disini?” Tanya seorang ibu-ibu dengan beberapa belanjaan yang dijinjingnya.

“Iya bu, ini lebaga zakat bu. Jika ibu berkenan, bisa membayarkan zakatnya lewat kami.” Jelasku.

“Oh gitu, selain itu apa aja mbak?” Tanyanya memastikan.

“Selain itu ada program-program Ramdhan seperti yang ada di brosur ini, dan alhamdulillah semua program sudah berjalan dengan lancar. Tinggal pembayaran zakat dan donasi untuk Palestina.” Kataku sambil membukakan brosur.

“Ohh kalo ke Palestina nanti nyalurinnya gimana mbak?”

“Kebetulan kami sudah mempunyai kantor cabang ada di Palestina, Korea Selatan, dan negara lain. Jadi, In sya’ Allah donasi tersebut bisa langsung tersalurkan tanpa perantara. Ini ada foto aslinya juga kalau lembaga ini benar-benar mempunyai cabang di Palestina dan memberikan bantuan langsung kepada warga disana.” Jelasku sekali lagi sambil mengacungkan jari telunjukku ke sebuah foto besar yang sengaja aku tempel di gerai.

“Ohh gitu, ya sudah saya mau bayar zakat dan donasi Palestina juga.” Jawabnya lega sambil tersenyum ramah.

Uang yang dikeluarkannya pun tak sekedar uang yang berwarna biru tua, tetapi juga beberapa lembar uang yang bergambar Ir. Soekarno.

“Terima kasih ibu, uangnya saya terima, dan ini tanda terimanya. Emmm boleh saya doakan sebentar bu?” Tanyaku tak ingin kehilangan kesempatan mendoakan orang.

“Oh iya, tentu mbak, saya mau didoain.” Jawabnya riang.

Aku pun mendoakan donatur tersebut dengan membaca ta’awudz, syahadat, shalawat, dan doa lain dengan terjemahan bahasa Indonesia.

Entah kenapa, setelah aku mendoakan satu donatur tersebut, beberapa orang yang mendengarkan aku berdoa dengan senang hati mengantri ingin berdonasi. Benar-benar bulan yang penuh berkah. Selama tiga hari terakhir aku menjaga gerai sendiri, selama tiga hari itu pula puluhan donatur datang berbondong menyalurkan rejekinya. Dan tak lupa, dengan senang hati aku mendoakan para donatur dengan tambahan doaku sendiri agar mereka diberikan umur, rejeki, dan keturunan yang berkah. Dan juga, semoga semua kehidupan dan kegiatan positif mereka selalu dilancarkan dan dipermudah oleh Allah SWT.

“Selamat ya mbak Rivena, mbak jadi relawan terbaik karena bisa mendapatkan banyak transaksi. Penilaian kami bukan berdasar nominal uang yang didapat melainkan jumlah transaksi yang telah berhasil diperoleh mbak Rivena.” Kata Pak Ahmad bangga ketika aku akan berpamitan kembali ke kampung halaman.

Aku hanya bisa tersenyum bingung dan bersyukur, pasti semua ini ada campur tangan Allah.

“Emmm sebenarnya, kalau mbak tidak keberatan, kami sedang membutuhkan seorang karyawan lagi untuk kami posisikan di bagian kemitraan.” Jelas pak Ahmad dengan intonasi pelan. Aku masih terdiam.

“Kami melihat mbak Rivena ini berpotensi dan bisa ikut aktif membantu disini.” Tambahnya.

Sekali lagi, aku masih terdiam dan berfikir sebentar. Benar-benar pilihan yang sulit untukku saat itu, apakah aku harus bertahan di bimbel dengan gaji kecil atau harus memilih kesempatan baru dengan materi dan jabatan cukup. Aku suka mengajar, bagiku mengajar adalah panggilan hati. Tapi aku juga suka membantu dan bersosialisasi mengenal banyak orang, menjadi manusia sosial. Aku juga sangat dibutuhkan di bimbel mengingat aku memang selalu aktif. Tapi, di tempat yang baru ini dan membuatku nyaman, aku sungkan untuk menolak. Lalu apa yang harus aku lakukan. Aku masih terdiam sejenak.

“Emmm bismillah, maaf pak, saya ini kan masih punya amanah di bimbel sebagai seorang kepala cabang dan juga tentor. Dan bimbel yang saya kelola sekarang pun istilahnya seperti bayi yang baru bisa merangkak, jadi sebisa mungkin saya harus membuat bimbel ini berjalan, baru bisa saya tinggal. Jadi, saya tidak bisa menerima tawaran bapak.” Kataku pelan dengan wajah tegar.

Sedikit ada rasa kecewa sepertinya dari pak Ahmad, tapi sudahlah, ini keputusanku. Beberapa orang memang menyesalkan keputusanku saat itu, tapi tak sedikit pula yang mendukungku karena hidup itu pilihan.

Maaf, ketika aku memutuskan untuk tetap berada di bimbel kecil dengan materi yang tak banyak aku dapat. Tapi aku lebih merasa nyaman dan senang ketika mengajar dan melihat canda tawa anak didikku yang super aktif. Sekali lagi, hidup itu memang pilihan.

Allahu akbar,, Allahu akbar!!” Suara Adzan Isya’ menyadarkan ingatanku saat itu. Saatnya untuk bersiap-siap mendirikan sholat Isya’.

“Ya Allah, semua yang aku lakukan semoga dapat bermanfaat bagi orang lain. Semua keputusan, semoga menjadi yang terbaik, karena sejatinya Engkaulah Yang Maha Mengetahui segalanya melebihi hamba-Mu.” Doaku saat beralaskan sajadah.   



*Cerpen yang dilombakan tetapi belum beruntung ^_^




Comments

Popular posts from this blog

I'm proud of my students ^_^

Are You Still on Fire?!?