Ajang Tes Bergengsi 2014

sumber:tribunjateng
Siapa yang tak tergiur dengan tawaran tes CPNS yang membuka ratusan formasi di tahun 2014 ini? Ribuan bahkan jutaan orang tercatat telah terdaftar dalam seleksi tes bergengsi ini. Tak sedikit yang mendapat cap TMS alias Tidak Memenuhi Syarat pada saat pengiriman berkas. Dan tak sedikit pula yang lolos dan mendapat titel MS alias Memenuhi Syarat yang disusul dengan kartu tes berbasis komputer atau tenar dengan sebutan CAT. Termasuk saya, mungkin saya adalah salah satu orang yang beruntung mendapat gelar MS dan kartu tes yang terselip di dalam amplop putih berperangko dua. 
Satu bulan setelah kiriman kartu tes tersebut, saya pun harus mengikuti tes bergengsi yang diikuti jutaan orang di Indonesia. Dan beruntungnya, saya harus mengikuti tes CPNS di salah satu universitas besar di Semarang. Dengan mengenakan kemeja putih, rok hitam, dan sepatu hitam ala guru mengajar, saya menunggu satu jam di parkiran motor sebelum tes dimulai. Dengan didampingi sang suami, saya pun tak berhenti berdoa dalam hati sembari melirik kanan kiri. Ada banyak sekali orang yang memakai pakaian seperti saya dengan berbagai gaya. Terlihat mereka semua bukan seorang guru ataupun calon guru.

Ada yang memakai rok hitam dengan sepatu hak tinggi, ada pula yang memakai celana skinny jeans dengan kalung hias yang melengkapi. Ada yang memakai sepatu balet berwarna coklat, dan ada pula yang memakai rok hijau tua. Padahal di kartu tes tertulis bahwa peserta tes wajib mengenakan kemeja putih, bawahan hitam, dan sepatu hitam. Entah apa yang terjadi dengan peserta yang tak mengenakan pakaian seperti syarat diatas. Yang jelas saat itu saya terfokus pada tes yang akan saya kerjakan, dan satu hal lagi, saya terfokus pada suami saya hehe... Bagaimana tidak? Saya meninggalkan dan membiarkan beliau menunggu saya di parkiran motor dengan dua tas ransel dan satu tas jinjing beserta jaket pink kesukaan saya. 

Jam sepuluh tepat. Semua peserta dipersilahkan masuk ke ruangan besar di lantai tiga gedung E kampus ternama tersebut. 

“Bagi yang masih hamil, dilarang naik.” Teriak petugas tanpa alat pengeras. 

“Gak usah bawa barang lain selain kartu tes dan KTP. HP, Jam tangan, alat tulis, dan semuanya ditinggal.” Tambahnya sembari membawa block note dan pulpen. 

Setelah cukup lama berdiri dan mengantri untuk dapat masuk ke ruangan besar tersebut, akhirnya saya mendapatkan tempat duduk dibarisan nomer tiga. Sebelah kanan saya adalah seseorang perempuan yang belum ada setahun menikah. Dia berasal dari Jogja dan mencoba mengadu nasibnya di formasi veteriner pertama. Di sebelah kiri saya duduk seorang ibu-ibu yang mencoba keberuntungannya di formasi apoteker. Dia berasal dari Cirebon dan memberanikan diri meninggalkan dua anak kecilnya beserta suaminya dirumah. Benar-benar ajang tes bergengsi yang melibatkan banyak lapisan masyarakat untuk mencoba keberuntungan mereka. 

Di ruangan besar itu, pikiran saya lumayan tenang. Saya coba menengok ke kanan dan ke kiri, ke depan dan ke belakang. Mereka semua berpakaian sesuai karier sepertinya, batin saya. Ada yang berpakaian bak pegawai bank, dan sepertinya ia adalah seorang yang bergelut di bidang keuangan. Ada yang berpenampilan bagai sekretaris dengan kacamata fullframe dan rambut model bobs. Untuk para laki-laki, so pasti semuanya hampir sama terlihat biasa dan sederhana, hanya berkemeja putih, celana hitam, dan sepatu hitam. Mau ditambah apa lagi coba? Asesoris? Tak mungkin kan. Anting? Bros? Gelang? Tak bakal ada. 

“Nanti kita akan melaksanakan tes CAT di laboraturium komputer disebelah sana. Dan ingat, nanti skor kalian akan dipajang di TV besar yang ada disamping masjid. Jadi bagi kalian yang membawa keluarga bersiap-siaplah buat dilihat hasilnya oleh keluarga kalian. Awas, jangan malu-maluin lho.” Kata pembicara yang berkemeja batik dengan rambut mulai memutih. 

Rasa grogi dan pesimis entah kenapa mulai menghinggapi pikiran saya. Jarang sekali saya merasa pesimis, entah kenapa kali ini saya merasa pesimis berat. Saya harap saingan saya sebagai guru bahasa Inggris pertama hanya sedikit. Tapi sepertinya harapan saya belum berpihak. Ketika kami mulai digiring menuju ke lab, saya tak sengaja berjalan bersamaan seorang guru bahasa Inggris yang sudah mengabdi selama 11 tahun di salah satu SMP di Magelang. Dengan parasnya yang terlihat sabar, religius, dan pintar, rasa pesimis saya saat itu mulai membesar dan semakin membesar. Saya mencoba hilangkan rasa pesimis itu dengan berdzikir lebih lama.

Setelah sampai di lab, kami pun diberi arahan sekali lagi dalam mengerjakan semua soal. Ada 100 soal dengan batas waktu 90 menit. Selesai tak selesai, program akan tertutup secara otomatis. Wow banget. Satu soal tak ada durasi 1 menit dalam mengerjakannya. Saya pun segera mempercepat teknik membaca saya ketika dihadapkan dengan soal sedikit panjang. Saya klik satu persatu jawaban yang ada. tak lupa, setiap soal saya selalu mencoba berdzikir dan berdoa dalam hati. Berharap walaupun tak lolos CPNS, setidaknya nilai saya diatas standar dan tak memalukan.  

Setelah semua soal selesai saya kerjakan. Saya tutup program tersebut dan Taraaaa.... skornya muncul. 
300 sekian dengan tiap skor diatas standar kelulusan dan skor tertinggi adalah skor untuk bidang TKP atau tes kepribadian. Hufttt... lega bercampur was-was karena masih banyak saingan yang mungkin mendapatkan skor yang lebih tinggi dari saya, walaupun saya melihat disebelah kanan dan kiri saya ada salah satu bidang yang masih dibawah standar kelulusan. 

“Dapet skor berapa mbak?” Saya mencoba bertanya kepada ibu-ibu apoteker yang sebelumnya duduk disebelah kiri saya saat technical meeting.  

“Tiga ratus lima puluh delapan.” Jawabnya dengan girang.

“Wah tinggi juga ya.” Jawab saya yang merasa masih kalah beberapa skor dengannya. 

Untungnya dia tak mengambil formasi guru. Tapi, hati ini tetap pesimis melihat banyaknya manusia-manusia berotak genius yang mengikuti tes bergengsi ini. 

“Yuk coba lihat skor di tivi gedhe itu.” Ajaknya yang saya sendiri tak pernah tau namanya. Maklum, saking sibuknya kami memikirkan dan terfokus pada tes keberuntungan tersebut, kami jadi tak saling kenal, hanya saling menyapa dan berbicara tanpa mengenal nama. 

“wah, ternyata banyak juga ya yang dapet skor jauh dibawah rata-rata di peringkat seratus keatas.” Ujar saya yang sedikit sibuk mencari suami.

sumber: TribunJateng
Belum sampai saya melihat nama saya yang berada diurutan dibawah 100, saya sudah melihat suami saya berjalan menuju tempat parkiran motor dengan membawa jaket pink kesayangan saya ditangan kanannya. Tanpa menghiraukan teman baru saya tersebut, saya segera berlari menyusul dan memanggil suami tercinta. Sempat takut sebenarnya jika saya tidak lolos tes bergengsi tersebut mengingat perjuangan suami saya yang telah merelakan beberapa berita, tenaga, dan waktunya hanya untuk mengantar dan menemani saya.

“Gak apa-apa. kerjakan secara maksimal, setelah itu lupakan Test ini. Kembali bernyanyi ditengah-tengah anak-anakmu di Bimbel, kembali pada tulisan-tulisan di laptopmu" katanya bijaksana.

Jangan terlalu mendewakan Tes CPNS, tes ini sama halnya dengan tes-tes yang lain. Derajat nilai tes CPNS sama dengan tes kehamilan menggunakan testpack, kalau belum sesuai harapan ya coba lebih giat lagi ..hehehe.” Tambahnya memberikan humor yang membuatku tak pernah bosan untuk tertawa jika selalu disisinya. 

Karena sejatinya rejeki PNS ibarat menunggu jatuhnya setetes embun dari ujung daun tanaman kentang atau menunggu ngendhog-ke siblorok dikandang belakang rumah.” Petuahnya yang membuatku semakin merasa nyaman disisinya hehe.. :-D

Comments

Popular posts from this blog

I'm proud of my students ^_^

Are You Still on Fire?!?